Pendidikan untuk birokrat pencatatan sipil

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

ANTARANEWS.Com. Sabtu, 4 Maret 2017 08:13 WIB | 3.149 Views

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh,  baru-baru ini menandatangani kerjasama dengan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo untuk membuka program pendidikan vokasi diploma IV hukum pencatatan sipil.

“Semua birokrat di bidang ini masih parsial karena belajar dari lapangan, tetapi yang memiliki kemampuan teoritik, kemampuan yuridis, serta manajerial dukcapil secara khusus belum ada,” kata Zudan.

Menghadiri Raker Nasional Dinas Dukcapil se Indonesia.

Langkah ini tepat, karena sampai hari ini belum ada tenaga ahli di birokrasi bidang  kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) yang memiliki basis ilmu pencatatan sipil.

Sejarah dan Implikasinya

Sejarah pencatatan sipil di Indonesia saat ini, berawal dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang ketika itu membagi masyarakat atas dasar etnisitas yang diatur dalam Regering Reglement (RR) jo Indische Staatregeling (Stb. 1855-2 jo 1925-415 jo 1925-447) Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb. 1910-126) – yang intinya mengelompokkan warga masyarakat Hindia-Belanda dalam golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Bagi kelompok-kelompok ini berlaku aturan hukum yang berbeda.

Ketika politik dunia khususnya di Asia mulai berkembang gerakan “Nasionalisme” – Boedi Oetomo, Sun Yat Sen, dan sebagainya, – maka pemerintah Hindia-Belanda dalam upaya agar pihak “asing” tidak mencampuri “urusan” dalam negeri dengan tetap menghormati kewarganegaraan dari penduduk Hindia-Belanda, merumuskan dengan apa yang disebut Kekaulaan Belanda atau Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders  (1910), intinya adalah mengelompokkan penduduk menjadi Kekaulaan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera.

Sebagai konsekuensi logis dari sistem konkordansi terhadap peraturan dengan Negeri Belanda dan pembagian kekaulaan Hindia-Belanda tersebut, maka ketentuan pencatatan kelahiran dibedakan antara orang Belanda, Timur Asing, dan Bumiputera. Dan mulai tahun 1933  Pemerintah Hindia-Belanda menambah pembedaan dari aspek agama, sehingga pengaturan pencatatan kelahiran (birth registration) membedakan warga masyarakat atas dasar etnik dan agama.

Sebagai contoh, etnik warga Negara Indonesia (WNI) “asli” Non Kristen (bukan untuk mendikotomi asli dan keturunan) yang perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA) akan dicatat dengan Staatsblad 1920-751 jo 1927-564. Sementara WNI “asli” Kristen yang perkawinannya di kantor Catatan Sipil,akan dicatat dengan Staatsblad 1933-75 jo 1936-607.

Dari contoh ini, sekalipun sesama WNI “asli” tetapi karena berbeda agama, maka apabila terjadi perceraian, berbeda pula pengadilan yang akan memutuskan, yaitu Pengadilan Agama (PA) bagi yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama Kristen.

Mengenai masalah hukum waris yang akan  diterapkan, dimungkinkan berbeda pula terhadap anak yang bersangkutan. Salah satu kemungkinan dapat mengikuti Waris Perdata Barat, karena dianggap menundukkan diri pada hukum  perdata – Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) pasal 3 dan Indonesische Staatsregeling (ISR) pasal 4.

Kualitas Pelayanan

Berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 tahun 1983, pelayanan pencatatan sipil beralih dari Departemen Kehakiman ke Departemen Dalam Negeri. Oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), pelatihan bagi petugas catatan sipil baru dilakukan tahun 1989 melalui surat edaran Mendagri Nomor 893.3/1558/PUOD tanggal 17 April 1989, dan kantor catatan sipil mulai saat itu terbuka untuk umum.

Mengingat masih barunya bidang pencatatan sipil di kemdagri, maka banyak permasalahan terjadi dalam bidang ini, seperti: belum semua kabupaten/kota memiliki kantor catatan sipil, kemampuan sumber daya manusia praktis masih sangat rendah, dan mentalitas aparat belum memahami substansi dokumen pencatatan sipil maupun sebagai pelayan rakyat. Akibatnya, pelaksana di lapangan tidak nyambung dengan kebijakan yang diambil pusat, dan bahkan pungutan liar masih terjadi dimana-mana.

Institut Kewarganegaraan Indonesia memperkirakan, lebih dari 120 juta penduduk belum memiliki akta kelahiran (sampai hari ini Ditjen Dukcapil belum berani mengungkap jumlah kemilikan akta kalahiran dari hasil Sistem Informasi Administrasi Kependudukan/SIAK).

Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No 18/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa, “Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya, serta tidak terlindungi keberadaannya”.

Dibukanya program studi diploma IV hukum bidang pencatatan sipil ini diharapkan menjadi landasan untuk menciptakan sistem pelayanan administrasi dukcapil yang professional bagi aparatur, dan berkeadilan bagi masyarakat, mampu menjawab perkembangan global yang menuntut kecepatan dan inovasi baru bagi aparatur dukcapil dalam memenuhi tuntutan masyarakat dalam perkembangan global kedukcapilan, misalnya mobilitas masyarakat dari dan ke luar negeri yang sangat tinggi memerlukan pelayanan cepat tetapi cermat, dan validitas dokumen dukcapil yang memerlukan dukungan teknologi dan pemahaman tentang keabsahan dokumen.

Satu hal yang harus dicapai dalam pendidikan ini adalah harus mampu memenuhi kebutuhan aparatur di dinas dukcapil Kab/Kota di Indonesia. Selain itu, lulusan pendidikan ini harus mampu melaksanakan pekerjaan yang kompleks dengan dasar kemampuan professional, termasuk kemampuan merencanakan dan melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah, serta mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi.

*) Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia tinggal di Jakarta

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © ANTARA 2017

 

http://www.antaranews.com/berita/615924/pendidikan-untuk-birokrat-pencatatan-sipil

 

 

 

Masalah kependudukan jelang pilkada

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji & Swandy Sihotang

ANTARA NEWS.Com. Senin, 7 November 2016 12:17 WIB

Administrasi kependudukan merupakan alat negara untuk mengetahui peristiwa-peristiwa penting yang dialami penduduknya seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan peristiwa kependudukan lainnya seperti jejak-rekam mutasi domisili penduduknya.

Dari Sistem Administrasi Kependudukan ini, negara akan mengetahui peta penduduknya seperti jumlah penduduk, umur, jenis pekerjaan, alamat, penyebaran penduduk dan bahkan bisa mengetahui proyeksi peta penduduk pada untuk masa yang akan datang.

 

Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) menerima Penghargaan dari Menteri Dalam Negeri dalam Raker Dukcapil se Indonesia di Semarang, sebagai satu satunya organisasi kemasyarakat yang peduli kepada masyarakat terutama dalam pemenuhan dokumen kependudukannya. Ki-ka: Paschasius HOSTI Prasetyadji, KH Saifullah Ma’shum. M.Si, Eddy Setiawan, dan Swandy Sihotang.

Pemerintah juga memiliki database kependudukan untuk memberikan pelayanan publik kepada penduduknya seperti hak memilih, akses layanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

UU Nomor 23 tahun 2006 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, mengamanahkan supaya pemerintahlah yang aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat (stelsel aktif), dalam pemenuhan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan dokumen kependudukannya.

Diakui, bahwa kondisi administrasi kependudukan kita saat ini, semakin hari semakin membaik, database SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), selalu diperbaharui dengan versi-versi terbaru.

Sistem komunikasi kepala-kepala dinas dengan Ditjen Dukcapil sangat dinamis dengan adanya “whatsapp group”, anggaran dari pusat untuk dinas kependudukan dan pencatatan sipil di kabupaten- kota juga – cukup signifikan. Selain itu, sumber daya manusianya juga sudah mulai ada perubahan.

Pertanyaannya adalah, apakah untuk Pilkada awal tahun 2017, masih akan tetap ada masalah pada data pemilih yang akan diterima KPU-KPU dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dispendukcapil)?

Dengan selalu munculnya permasalahan pada data pemilih setiap hendak pilkada, maka sorotan kepada administrasi kependudukan ini kian tajam. Reformasi penataan administrasi kependudukan yang dulunya dipandang sebelah mata, kini sangat diperlukan.

Pertanyaannya adalah reformasi yang bagaimanakah yang dibutuhkan oleh bidang ini sehingga tercapai tujuan dari misi dan visi administrasi kependudukan?.

Setelah terbitnya aturan-aturan perundangan yang cukup baik tentang administrasi kependudukan,maka ada dua hal yang perlu dilakukan pembenahan, yaitu memperluas jangkauan dan cakupan dokumen pelayanan.

Jangkauan pelayanan

 

Lokasi kantor dispendukcapil yang biasanya berada di pusat kabupaten dan kota, sering menjadi kendala jarak bagi penduduk desa atau pedalaman karena hanya akan membuang waktu, tenaga dan biaya.

Itulah sebabnya, pada umumnya penduduk hanya akan mengurus dokumen kependudukan mereka kalau sudah dalam keadaan terdesak, seperti mau sekolah, melamar pekerjaan dan sebagainya.

UU No. 24 tahun 2013 revisi dari UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengamanatkan bahwa untuk mendekatkan pelayanan adminduk kepada masyarakat, supaya pemerintahlah yang aktif melayani dokumen kependudukan penduduknya dengan membentuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) di kecamatan-kecamatan sebagai perpanjangan dispendukcapil.

Namun hingga saat ini, bisa dihitung dengan jari daerah yang memiliki UPTD-UPTD.

Selain pembangunan UPTD, UU ini juga mengamatkan supaya bupati wali kota mengangkat petugas registrasi satu orang di tiap-tiap desa=kelurahan, yang tugasnya khusus mengurusi Administrasi Kependudukan di daerah tersebut. Petugas registrasi inilah yang menjadi perpanjangan tangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di desa dan kelurahan.

Selain membentuk UPTD di kecamatan dan mengangkat petugas registrasi di desa-kelurahan, untuk memperluas jangkauan pelayanan, beberapa dispendukcapil juga sudah memiliki dan mengoperasionalkan mobil pelayanan keliling yang sering dinamai UP3SK (Unit Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Keliling).

Mobil keliling ini dikaroseri sedemikian rupa layaknya ruang pelayanan, sehingga cocok dan efektif dibawa untuk pelayanan sampai ke daerah-daerah yang pelosok.

Namun sayang sekali, entah karena apa kita jarang melihat mobil ini beroperasional ke lapangan.

Cakupan dokumen pelayanan

 

Dokumen kependudukan yang diterbitkan dispendukcapil cukup beragam, mulai dari akte lahir, kartu keluarga, KTP elektronik, akta perkawinan, akta kematian, akta peceraian, akta pengakuan anak dan lain-lain. Namun sampai saat ini, baru Kartu Keluarga, KTP elektronik dan akta kelahiran yang sering dianggap dokumen penting yang sering diurus oleh masyarakat. Itu pun cakupannya masih belum 100 persen.

Saat ini pemerintah sedang fokus untuk menerbitkan akta kelahiran untuk anak-anak sampai 100 persen.

Untuk mencapai target ini, Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan antara lain Permendagri No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, dan Surat Edaran No. 471/1768/SJ tentang Percepatan Penerbitan KTP elektronik dan Akta Kelahiran, pesyaratan pencatatan kelahiran dipermudah, yakni tidak perlu lagi surat pengantar dari RT, RW dan Kepala Desa atau Lurah, cukup dengan KK, KTP kedua orang tua, Surat Keterangan Lahir dan Buku/Akta Nikah.

Selain itu, Permendagri ini juga menerapkan kebijakan baru yakni SPTJM (Surat Peryataan Tanggung Jawab Mutlak) untuk menggantikan persyaratan yang tidak bisa terpenuhi seperti surat keterangan lahir dari bidan, Berita acara dari kepolisian untuk pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang tuanya.

Dengan lahirnya permendagri ini, diharapkan akan memperluas cakupan pelayanan administrasi kependudukan khususnya pencatatan kelahiran anak.

Target Pemerintah, memperluas cakupan pelayanan adminduk menjadi prioritas pertama.

Oleh karena itu, setiap pemerintah daerah wajib melaporkan hasil cakupan pelayanan akta kelahiran dalam laporan SIAK-nya secara periodik. Untuk menjalankan program ini, sesuai hasil penelitian Institut kewarganegaraan Indonesia (IKI), ada beberapa cara yang dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu:

Pertama, memperbaiki dan memodernisasi sistem pelayanan mulai dari pelayanan di dinas kependudukan dan pencatatan sipil, membentuk dan menjalankan pelayanan di UPTD, membentuk petugas registrasi di desa-kelurahan dan memaksimalkan Pelayanan keliling.

Kedua, bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk mengumpulkan akta lahir yang pernah diterbitkan oleh dispendukcapil namun belum terdata di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), lalu meng-entry ulang di SIAK.

Ketiga, ada kecenderungan dari dispendukcapil untuk mencetak akta kelahiran dari data SIAK yang belum tercetak, lalu menyerahkan akte tersebut ke kepala desa-lurah untuk dibagikan kepada anak-anak tersebut.

Dari ketiga cara tersebut, hanya cara pertama yang membenahi sistem, sehingga dari pelayanan yang modern dan berkesinambungan, akan didapat data penduduk yang akurat.

Sedangkan cara kedua dan ketiga, hanya “instan”, yaitu data yang diperoleh sesaat bukan karena pelayanan, sehingga penduduk yang lahir, pindah, dan mati kemudian tidak tercatat lagi. Lebih parahnya, dapat menyebabkan dokumen kependudukan tercetak ganda atau diterbitkan kepada orang yang sudah pindah atau meninggal dunia.

Cakupan pelayanan haruslah didapatkan dari pelayanan yang baik dan standar, karena setiap orang akan datang ke kantor dispendukcapil ini, bukan hanya sekali tetapi berkali-kali, setiap ada peristiwa penting dalam hidupnya haruslah dicatatkan di kantor ini, termasuk ketika sudah mati pun, orang lain akan mencatatkan di sini.

Akhirnya, semua ini tergantung pada Pemerintah untuk menentukan cara yang akan dilakukan untuk mendapatkan data pilkada yang akan diserahkan kepada KPU/KPUD.

*) Prasetyadji & Swandy Sihotang adalah Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI).

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © ANTARA 2016

 

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/594626/masalah-kependudukan-jelang-pilkada

 

 

 

 

Bukti Kewarganearaan Itu Adalah Akta Kelahiran

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

KORAN SINDO – SABTU, 8 APRIL 2017 | 16:58

Perdebatan mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) khususnya bagi warga peranakan Tionghoa muncul kembali dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), beberapa waktu yang lalu.

 

Dalam banyak kasus, masalah SBKRI ini selalu muncul terutama ketika seseorang mengurus dokumen, baik untuk melanjutkan sekolah, mengurus paspor di kantor imigrasi, mengurus perkawinan di kantor dinas kependudukan & catatan sipil, maupun pengurusan dokumen pada instansi pemerintah lainnya.

 

Kondisi ini amat sangat memprihatinkan, padahal berbagai regulasi mengenai masalah kewarganegaraan dan kependudukan telah dibuat pemerintah dan DPR, seperti UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

 

Secara regulasi, Negara dipandang telah cukup memberikan jaminan pemenuhan hak-hak kewarganegaraan dan kependudukan. Namun dalam praktek di lapangan masih terjadi penafsiran yang berujung pungutan disana-sini yang membebani rakyat ketika mengurus haknya.

 

Sejarah Kewarganegaraan

Bicara masalah kewarganegaraan Indonesia, tentu tidak terlepas dari sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan oleh segenap rakyat dari berbagai latar belakang suku, agama, ras/etnis, dan golongan.

 

Hal ini menjadi sangat jelas apabila membaca Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dimulai pada bulan Mei 1945 sampai dengan bulan Agustus 1945. Di situ dijelaskan bagaimana para pendiri negara Republik Indonesia membicarakan hal-hal terkait dengan negara yang akan dibentuk.

 

Sejarah pembentukan rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sangat relevan dengan persoalan kewarganegaraan yang dibicarakan dalam rapat besar pada hari Rabu Wage, tanggal 11 Juli 1945. Relevan, karena rapat ini membicarakan mengenai wilayah negara, dihadiri oleh berbagai ‘bangsa dan suku bangsa’ (para pendiri bangsa), dan berkesimpulan Indonesia merdeka meliputi wilayah Hindia-Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

 

Dari usulan Sumitro Kolopaking, dapat diyakini bahwa pembentukan negara Indonesia merdeka dilakukan dengan dukungan dari berbagai lapisan. Dengan kata lain adalah lintas etnik, agama, suku, dan sebagainya. Sebagai orang ‘tanah Jawa’ sikapnya sungguh toleran terhadap orang dari luar tanah Jawa, maupun peranakan lain seperti Hatta, Yamin, Maramis, Dahler, Liem Koen Hian, dll. Bahwa lambang Bhinneka Tunggal Ika merupakan jawaban tepat.

 

Menarik pula perbincangan antara anggota Soetardjo, Soepomo, dan Yamin. Soetardjo menanyakan bahwa “sebelum ada Undang-undang, siapa yang menjadi warga?”.

 

Jikalau itu suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh ahli hukum, Soepomo menegaskan, “maka untuk jawabannya kita melihat kepada peraturan yang menentukan, bahwa segala badan pemerintahan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru”.

 

Mendengar jawaban Soepomo itu, maka Soetardjo beranggapan bahwa “menurut aturan yang berlaku belum ada juga ketentuan tentang warganegara dan kita, orang Indonesia, semua Nederlandsch Onderdaan”. Hal ini diwadahi dalam pasal 1 ayat a dan b Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946, yaitu:
a) orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia;
b) orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut di atas akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu dan lahir, bertempat kedudukan dan kediaman di dalam daerah Negara Indonesia, dan orang bukan turunan seorang dari golongan termaksud, yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir di dalam daerah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin;

 

Mengenai masalah warga negara, Muhamad Yamin menegaskan bahwa “Yang menjadi warga negara, ialah orang bangsa Indonesia dan penduduk yang pada saat pelantikan bertempat kediaman di Indonesia, kecuali yang menyatakan dengan surat penolakan dalam waktu 6 bulan sesudah pelantikan itu”.

 

Diingatkan pula oleh Muhamad Yamin dengan minta perhatian betul-betul kepada para anggota sidang, “karena yang dibicarakan ini adalah hak rakyat. Karena kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet (konstitusi, red); grondwettelijke fout (kesalahan konstitusi, red), kesalahan Undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik; misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara, jangan dipikirkan bahwa hanya warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini. Jadi, harus dipikirkan betul-betul redaksinya; pertama-tama harus jelas buat republik. Jadi, sudah terang bahwa di belakang perkataan “warga negara” harus ditambah “penduduk”, seperti diatur oleh konstitusi-konstitusi lain. Karena hal ini berhubungan dengan hak soevereiniteit (kedaulatan, red) negara-negara lain”.

 

Selain itu, hubungan diplomatik Pemerintah Indonesia – RRC ketika itu juga sempat memanas. Kantor Berita Antara, Kamis Kliwon, 19 Mei 1960 menurunkan berita bahwa Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri meminta kepada Kedutaan Besar RRC agar dua Konsul RRC ditarik dari posnya, yaitu Liu Ching Yu, Konsul di Medan dan Chiang Yen, Konsul di Banjarmasin. Dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa hanya sedikit etnis Tionghoa yang berhasil berangkat ke RRC, sisanya yang diduga berjumlah sekitar seratusan ribu kepala keluarga menjadi pemukim di Indonesia sampai hari ini.

 

Sampai hari ini, masalah kewarganegaraan dan administrasi kependudukan masih menjadi belenggu yang mencengkeram bagi sebagian besar penduduk di Indonesia, karena untuk kepentingan tertentu, Instansi pemerintah seperti kementrian dalam negeri, kementrian pendidikan nasional, kementrian hukum dan hak asasi manusia, dll selalu mensyaratkan akta kelahiran dan SBKRI. Padahal kepemilikan akta kelahiran baru mencapai sekitar 40% dari penduduk di Indonesia, serta peraturan yang “mewajibkan” SBKRI bagi warga peranakan sudah dicabut seiring terbitnya UU No 12 tahun 2006.

 

Selanjutnya dokumen kewarganegaraan atau kependudukan, cukup dibuktikan dengan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, dan Kartu Tanda Penduduk.

Mulai hari ini, Negara seharusnya tidak perlu ragu dan bimbang dalam memberikan pelayanan yang dekat dengan masyarakat secara mudah dan gratis. Karena sudah begitu banyak regulasi terkait masalah kewarganegaraan dan kependudukan yang mewajibkan Negara pro-aktif menjemput bola di tengah-tengah rakyatnya.

 

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Oleh karena itu, tanpa akta kelahiran, anak tidak punya identitas diri dan status kewarganegaraan.

 

Prasetyadji :

Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia ( IKI ) Jakarta.

 

Sumber :

Prasetyadji bersama KH Saifullah Ma’shum Ketua II IKI dan Haripinto Anggota DPD Kepri dalam acara Sosialisasi akta kelahiran sebagai dokumen kewarganegaraan di Tanjung Balai Karimum, Kepulauan Riau.

 

 

 

 

 

Status Kewarganegaraan Eks Perpres No 10/1959

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

Opini – KOMPAS, Sabtu, 22-November-2014

SEKITAR 100.000 pemukim etnis Tionghoa yang sesungguhnya warga negara Indonesia tetapi tanpa dokumen apa pun sebagai akibat kebijakan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959, akan segera mendapat kejelasan status kewarganegaraan Indonesia.

 

Perpres No 10/1959 adalah kebijakan tentang larangan bagi orang asing untuk melakukan kegiatan perdagangan secara formal, terutama pada tingkat pedesaan atau kecamatan. Namun, dalam praktik di lapangan, terjadi pengusiran terhadap orang- orang Tionghoa yang umumnya sudah warga negara Indonesia tunggal.

Sebagian kecil mereka pulang ke Tiongkok, sebagian besar menetap di Indonesia menjadi pemukim tanpa dokumen.

 

Solusi penyelesaian ini muncul dari hasil rapat koordinasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) di Bogor pada 16-18 November 2014.

 

Angka 92.350 muncul dari laporan Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet kepada Presiden melalui suratnya dengan Nomor 471.2/2099/SJ Tanggal 21 Juni 1996 bahwa hasil pendataan ketika itu tercatat 208.820 orang, dan 116.470 di antaranya telah diselesaikan kewarganegaraannya melalui proses naturalisasi yang dipercepat berdasar Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1995 jo Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1995.

 

“Jika diasumsikan kelahiran dan kematian mengikuti data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2014 terdapat sekitar 100.000 orang,” kata Slamet Effendy Yusuf MSi, Ketua Umum IKI.

 

Kondisi selama ini sungguh sangat memprihatinkan, berbagai regulasi mengenai masalah kewarganegaraan dan kependudukan telah dibuat pemerintah dan DPR, seperti UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan, UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No 24/2013 tentang Perubahan UU No 23/2006, dan UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Terkait dengan ketiga UU tersebut, terdapat UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Secara regulasi, negara dipandang telah cukup memberikan jaminan pemenuhan hak-hak kewarganegaraan dan kependudukan. Namun, dalam praktik di lapangan masih terjadi penafsiran yang berujung pungutan di sana-sini yang membebani rakyat ketika mengurus hak-haknya.

 

Masalah kewarganegaraan dan administrasi kependudukan masih menjadi belenggu yang mencengkeram bagi sebagian besar penduduk di Indonesia karena untuk kepentingan tertentu, instansi pemerintah, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, selalu mensyaratkan akta kelahiran dan bukti kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa.

 

Padahal, kepemilikan akta kelahiran baru mencapai 40 persen dari penduduk di Indonesia, serta peraturan yang “mewajibkan” bukti kewarganegaraan (SBKRI) bagi warga peranakan sudah dicabut seiring terbitnya UU No 12/2006.

 

Penyelesaian

 

Dalam rapat koordinasi yang dipimpin Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Harkristuti Harkrisnowo soal kewarganegaraan ini mengerucut pada 3 (tiga) rekomendasi.

  1. Rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri agar menerbitkan instruksi kepada pemerintah daerah sampai ke tingkat RT, RW, lurah, supaya tidak ragu dalam melayani dan menerbitkan dokumen kependudukan bagi pemukim yang sesungguhnya warga negara Indonesia.
  2. Mendorong Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia agar membuat statement (kebijakan umum) bahwa pemukim yang lahir dan turun-temurun di Indonesia adalah warga negara Indonesia dan dilayani sebagai warga negara Indonesia.
  3. Mendorong Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk memberikan kategori pemukim turun-temurun yang sesungguhnya warga negara Indonesia.

 

Muara dari rekomendasi yang ditawarkan adalah diterbitkannya dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, KTP, dan KK. Akta kelahiran merupakan dokumen dasar penduduk yang sangat penting karena di dalam akta itu dijelaskan identitas diri terkait dengan status keperdataan (hubungan hukum dengan orangtuanya) dan status kewarganegaraan seseorang.

 

Hal itu dijamin oleh Pasal 5 UU No 23/2002 bahwa “setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Kemudian di pasal berikutnya (27) ditegaskan bahwa, “identitas diri setiap anak, yang dituangkan dalam akta kelahiran, harus diberikan sejak kelahirannya, pembuatan akta kelahiran ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya”.

 

Mulai hari ini negara tidak perlu ragu dan bimbang dalam memberikan pelayanan yang dekat dengan masyarakat secara mudah dan gratis. Itu karena sudah begitu banyak regulasi terkait masalah kewarganegaraan dan kependudukan yang mewajibkan negara proaktif menjemput bola di tengah-tengah rakyatnya.

 

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Setiap anak harus diberikan akta kelahiran karena, dengan demikian, ia memiliki identitas diri dan status kewarganegaraan yang jelas.

 

Pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, rakyat berharap banyak pemerintah dapat segera menuntaskan masalah ini sehingga pada 2016 tidak ada lagi orang tanpa akta kelahiran. Mewarisi beban pemerintah yang lalu yang banyak nilai merahnya, Joko Widodo harus tegas terhadap aparat birokratnya, terutama jajaran Kementerian Hukum dan HAM dalam hal kejelasan status kewarganegaraan seseorang, juga Kementerian Dalam Negeri dalam hal pelayanan pemenuhan hak rakyat di bidang kependudukan dan pencatatan sipil.

 

Prasetyadji Pemerhati Masalah Tionghoa; Tinggal di Jakarta

 

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010212642

 

 

 

Membenahi Pencatatan Sipil

Oleh : Prasetyadji ;  Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia

KOMPAS, SABTU, 26 September 2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 menegaskan, ”Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya.”

 

Oleh karena itu, 67 persen dari 88 juta anak usia 0-18 tahun, yaitu 55,61 juta jiwa (Kompas, 16/9), secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Pertanyaan, apakah mereka ini bukan sebagai warga negara Indonesia? Sejauh mana negara memberikan perlindungan terhadap anak-anak (orang-orang) yang lahir di wilayah Indonesia? Bagaimana negara hadir secara administrasi dalam memanusiakan manusia? Sejauh mana harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM dengan Kementerian Dalam Negeri terkait status kewarganegaraan dan perlindungan hukum dalam administrasi kependudukannya?

 

Terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, pemerintah seharusnya proaktif, segera hadir dengan berbagai peraturan perundangan sebagai landasan hukum untuk penyelesaiannya. Kenyataan di lapangan, akibat tak dimilikinya akta kelahiran ini, banyak anak tidak dapat mengenyam pendidikan, rentan terjadinya perdagangan anak, ataupun stigma sebagai ”anak haram” karena banyak anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

 

Pasal 4 huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI menegaskan, anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia, apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya, adalah warga negara Indonesia.UU ini juga memberikan asas perlindungan maksimum. Artinya, pemerintah wajib memberi perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apa pun, di dalam ataupun di luar negeri.

 

BAP bertentangan UU

 

Dalam kenyataannya, untuk mengurus akta kelahiran bagi anak-anak ini, wajib dilengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Hal ini dipersyaratkan oleh Pasal 28 UU Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006 jo UU No 24/2013). Begitu pula Pasal 90, yang memberlakukan denda keterlambatan bagi pengurusan akta kelahiran yang lebih dari 60 hari.

 

Begitupun untuk mengurus akta kelahiran anak yatim-piatu yang tidak diketahui orangtuanya, kendala utama adalah masih dipersyaratkan BAP dari kepolisian. Padahal, Pasal 4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI sudah menegaskan bahwa anak-anak ini adalah warga negara Indonesia. Pasal 34 UUD 1945 pun menegaskan, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.

 

Terkait dengan hak seorang anak, adanya persyaratan BAP ini bertentangan juga dengan Pasal 28D Ayat (4) UUD 1945, yang menegaskanbahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan, maka negara wajib memberikannya kepada setiap penduduk. Oleh karena itu, tidak selayaknya anak-anak yang tanpa dosa ini dibikin BAP seolah-olah ada masalah pidana. Maka, persyaratan penerbitan akta kelahirannya cukup surat pengantar dari kepolisian setempat.

 

Persyaratan BAP bertentangan pula dengan Pasal 53 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Karena itu, pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM, termasuk di dalamnya melalui penerbitan akta kelahiran. BAP juga bertentangan dengan Pasal 5 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa ”setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dam status kewarganegaraan”.

 

Gratis

 

Akta kelahiran merupakan dokumen dasar penduduk yang sangat penting karena di dalam akta dijelaskan identitas diri dan status kewarganegaraan seseorang. Terbitnya UU No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan sebagai perubahan UU No 23/2006 menegaskan, pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya atau gratis. Pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi kependudukan ini dianggarkan dalam APBN dan dimulai pada APBN-P 2014.

 

Dengan terbitnya UU No 24/2013 ini, stelsel aktif dalam pelayanan administrasi kependudukan telah berubah dari penduduk menjadi yang aktif adalah pemerintah melalui petugas dengan pola jemput bola atau pelayanan keliling. Oleh karena itu, denda keterlambatan seharusnya dibebankan kepada APBN.

 

Oleh karena itu, penyelesaian terhadap 55,61 juta anak yang secara de jurekeberadaannya tidak dianggap ada oleh negara ini tidak lain harus diberikan akta kelahiran secara gratis.

 

Terkait dengan masalah ini, guna menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia, Presiden Joko Widodo perlu segera menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk segera memberikan akta kelahiran gratis kepada setiap penduduk sebagai bukti kewarganegaraannya (sebagaimana stelsel aktif di pihak pemerintah) agar seluruh rakyat Indonesia dapat mengakses hak-haknya sebagai warga negara.

 

Menteri Dalam Negeri juga harus meneliti dan mencabut seluruh peraturan daerah yang memberatkan masyarakat dalam pengurusan dokumen kependudukan. Dengan demikian, negara benar-benar proaktif melayani rakyat.●

 

Sumber: Diambil dari KOMPAS. – http://budisansblog.blogspot.co.id/2015/09/membenahi-pencatatan-sipil.html

Warga CinBen Kampoeng Sewan, pinggir kali Cisadane yang belum tersentuh dokumen kependudukan ketika itu.

 

 

Akta Kelahiran 3,2 Juta Anak Yatim

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

KOMPAS, Sabtu, 08 Juli 2017

Gara-gara tidak memiliki akta kelahiran dan tidak tercatat dalam kartu keluarga, dua anak cerdas dari Panti Asuhan Pintu Elok Tangerang, Jenifer dan Trisena, tidak dapat memperoleh haknya sebagai penerima beasiswa pendidikan.

 

Hal senada dialami Agnes dari Pulau Lembata di Panti Asuhan Roslin, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang diasuh Budi Soehardi, mantan pilot Singapore Airlines, yang mendedikasikan diri bersama istrinya, Rosalinda Panagia Maria Lakusa, untuk mengurus anak-anak yatim piatu.

 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa “setiap anak berhak mendapatkan status kewarganegaraan dan dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai biaya”. Sumber Kementerian Dalam Negeri tahun 2016 menyatakan bahwa saat ini ada 32 juta dari 85 juta anak di Indonesia, termasuk yatim piatu, tidak memiliki akta kelahiran. Sementara 40 persen dari 170 juta penduduk di atas 18 tahun diperkirakan tidak memiliki akta kelahiran.

 

Berbicara tentang hak sipil yang melekat pada diri setiap anak, konstitusi kita mengatur bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dalam pemerintahan; dan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan” (UUD 1945 Pasal 28D Ayat 1 dan 4).

 

Diskresi

 

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 18/PUU-XI/2013 menegaskan, “Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya, serta tidak terlindungi keberadaannya.”

 

Menteri Dalam Negeri akhirnya mengambil langkah diskresi dengan menerbitkan Peraturan Nomor 9 Tahun 2016 tentang percepatan peningkatan cakupan kepemilikian akta kelahiran. Pasal 3 Ayat (2) huruf b dalam peraturan inilah yang memberikan angin segar kepada anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orangtuanya, untuk dapat membuat akta kelahiran.

Peraturan ini menegaskan bahwa “pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orangtuanya dilakukan dengan melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak atau SPTJM kebenaran data kelahiran yang ditandatangani wali atau penanggung jawab”.

 

Diakui oleh Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan SipilProf DR Zudan Arif Fakhrulloh SH MH bahwa, “Kita harus mempertimbangkan masalah kejiwaan dan kemanusiaan agar anak-anak ini nantinya (setelah dewasa) tidak minder terhadap statusnya,” katanya. Langkah yang diambil Zudan cukup revolusioner, minimal 3,2 juta anak yatim di Indonesia (sumber Yayasan Yatim Mandiri, 2012) dapat diselamatkan status kewarganegaraan dan kependudukannya.

 

Sebelum terbitnya Permendagri No 9/2016, untuk mengurus akta anak yatim ini diwajibkan melampirkan berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian, sementara format BAP yang ada di kepolisian adalah turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya untuk kasus kriminal. Padahal, anak yatim ini bukan tersangka kriminal sehingga, sejak Republik Indonesia ini berdiri, belum pernah ada anak yatim yang memiliki akta kelahiran.

 

Ironis

 

Sayangnya, langkah maju profesor muda ini tidak dilaksanakan para pelaksana di lapangan. Banyak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) di daerah tak mengetahui kebijakan SPTJM. Akibatnya, banyak anak di daerah tidak bisa memiliki akta kelahiran karena tidak diketahui siapa orangtuanya.

 

Ada dua kemungkinan ketidakpahaman aparat dukcapil di daerah terkait terobosan hukum ini. Pertama, karena kurangnya sosialisasi oleh pemerintah pusat. Kedua, lemahnya SDM aparat dukcapil di daerah. Hanya segelintir saja kantor dinas dukcapil di daerah yang memiliki SDM yang paham masalah kependudukan dan pencatatan sipil, sementara SDM atau aparatkebanyakan hanya “buangan” dari bagian atau suku dinas lainnya.

 

Apa yang dialamiJenifer, Trisena, dan Agnes adalah gambaran anak-anak yatim yang tak diketahui asal-usul dan keberadaan orangtuanya di seluruh panti asuhan di Tanah Air. Terhadap masalah ini, kita semua diingatkan untuk selalu mengusahakan keadilan dan memperjuangkan perkara-perkara janda dan hak anak-anak yatim.

 

Anak-anak yatim ini berharap agar Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil segera menyosialisasikan kebijakan SPTJM ini kepada para pejabat dukcapil di daerah untuk menyelamatkan masa depan mereka.Tentu bukan hanya sekadar sosialisasi, melainkan harus ada sanksi bagi pejabat dukcapilyang bandel.

 

PRASETYADJI, PENELITI SENIOR INSTITUT KEWARGANEGARAAN INDONESIA

 

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul “Akta Kelahiran 3,2 Juta Anak Yatim”.

 

http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2017/07/akta-kelahiran-32-juta-anak-yatim.html

Anak anak yatim piatu bagian dari 3,2 anak yatim di Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu, Negara harus bertanggung jawab

 

 

Akta Kelahiran yang Menyelamatkan

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

KOMPAS, Selasa, 14 Juni 2016

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada para gubernur dan bupati/wali kota Nomor 471/1768/SJ tentang Percepatan Penerbitan KTP-el dan Akta Kelahiran, 12 Mei 2016.

 

Terbitnya peraturan ini membuat Nanik Purwoko dan para pengasuh panti asuhan di Indonesia lega setelah puluhan tahun terus menunggu akta kelahiran untuk anak-anak yatim piatu yang dirawatnya. Untuk biaya pengobatan anak-anak ini pun mereka harus mengeluarkan biaya dari kantong sendiri, mengingat anak-anak ini tidak bisa dibuatkan kartu BPJS Kesehatan, termasuk Maria Virginia yang sejak kelahirannya memiliki kelainan jantung dan tidak memiliki lubang anus.

 

Dengan terbitnya kedua peraturan itu, tidak perlu lagi berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian untuk mengurus akta kelahiran anak-anak tersebut. Persyaratan BAP cukup diganti surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) yang ditandatangani ketua panti asuhan.

 

Sebagaimana diketahui, selama ini untuk mengurus akta kelahiran bagi anak yatim piatu yang tak diketahui orangtuanya, salah satu syaratnya adalah wajib melampirkan BAP kepolisian.

 

Tragisnya, sejak negara berdiri, belum pernah ada format BAP kepolisian untuk syarat permohonan akta kelahiran. Format BAP yang ada merupakan turunan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang notabene hanya terkait pada masalah kriminal atau pidana.

 

Kedua peraturan menteri ini memang sangat ditunggu anak- anak yatim piatu untuk mengurus akta kelahiran di kantor dinas kependudukan dan catatan sipil, dan selanjutnya untuk membuat kartu BPJS Kesehatan.

 

Contoh anak yang tidak diketahui keberadaan orangtuanya adalah Maria Virginia, bayi merah yang dibuang orangtuanya di pinggir rel kereta api di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, enam bulan lalu. Kondisi bayi saat itu sungguh memprihatinkan. Napasnya tersengal-sengal, badannya dikerubungi semut dan lalat, dan membutuhkan perawatan ekstra.

 

Ironisnya, ketika hendak dilakukan operasi untuk membuat lubang pembuangan sementara di perutnya, terjadi peristiwa memilukan hati. Kebetulan, pada saat berbarengan ada empat bayi lain yang akan dioperasi. Empat bayi orang mampu itu menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan alias gratis, sedangkan Maria Virginia yang anak panti ini harus membayar Rp 50 juta!

 

Surat pernyataan

Melalui diskusi panjang dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, muncul ide, pemikiran, bahwa untuk penyelesaian hukum anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orangtuanya ini dapat dicarikan penyelesaian dengan dibuat semacam surat pernyataan bertanggung jawab penuh oleh wali anak tersebut.

 

Pemikiran ini dilandasi Pasal 4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Di sana ditegaskan, “Anak yang lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya adalah warga negara Indonesia”.  Artinya, setiap anak yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia-dan sesuai UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak-harus segera dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai biaya.

 

Langkah terobosan ini sungguh solutif dan manusiawi. Dengan terbitnya Permendagri ini, negara memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kelahiran yang dialami penduduk, termasuk perlindungan terhadap hak anak-anak.

 

Dalam surat edarannya, Mendagri mengakui masih ada 96 juta (38,4 persen) dari 250 juta penduduk Indonesia belum memiliki akta kelahiran. Apa yang dialami Maria Virginia di Panti Asuhan Abhimata, Tangerang Selatan, adalah gambaran masalah anak- anak yang tak diketahui asal-usul dan keberadaan orangtuanya di semua panti asuhan dan rumah singgah di seluruh Indonesia. Padahal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-XI/2013 dikatakan, “Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran secara de jurekeberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya, serta tidak terlindungi keberadaannya”.

 

Penantian panjang itu kini terjawab. Anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orangtuanya dapat memperoleh haknya sebagai layaknya manusia. Kini, nyawa anak-anak yatim piatu itu, termasuk Maria Virginia, bisa diselamatkan melalui akta kelahiran untuk mengurus BPJS Kesehatan.

 

Namun, satu hal yang prinsip adalah jajaran dinas kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota harus aktif mencari anak-anak yatim piatu ini untuk diberikan haknya, yaitu akta kelahiran. Kewajiban itu merupakan amanat dari UU No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan.

 

PRASETYADJI : Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul “Akta Kelahiran yang Menyelamatkan”.

 

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Maria Virginia dari Panti Asuhan Abhimata, Bintaro Sektor IX, Tangerang Selatan

 

 

 

Akta Kelahiran dan Tanggung Jawab Negara

oleh : Prasetyadji

O P I N I    K O M P A S    –    Rabu, 12 Juni 2013

Terbitnya nota kesepahaman delapan menteri tanggal 13 Mei 2011 tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam rangka Perlindungan Anak merupakan langkah awal pemenuhan hak dasar bagi setiap warga negara.

Namun, masalah di lapangan adalah mahalnya biaya bagi mereka yang pencatatan kelahirannya terlambat melebihi satu tahun. Sebab, pengurusannya harus melalui penetapan pengadilan dengan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang jelas-jelas menyatakan bahwa pembuatan akta kelahiran tidak dikenai biaya.

 

Morat-maritnya pencatatan kelahiran di republik ini, di samping masalah penetapan pengadilan, tidak lain adalah karena diterapkannya stelsel aktif bagi penduduk dalam pemilikan akta kelahiran (lihat Penjelasan UU No 23/2006). Padahal, stelsel aktif justru seharusnya dikenakan kepada negara atau pemerintah sebagai tanggung jawab dalam menjamin, melindungi, dan memenuhi hak konstitusional atas identitas, termasuk hak atas kewarganegaraan, nama, dan hubungan kerabat.

 

Saat ini, terdapat sekitar 44,09 persen (35,88 juta) dari 88,4 juta jiwa anak berusia 0-17 tahun (dari 237,64 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia) tidak memiliki akta kelahiran (Susenas 2010, BPS). Akibat tak dimilikinya akta kelahiran ini, banyak anak yang tak dapat mengenyam pendidikan, ataupun stigma sebagai “anak haram jadah atau anak hasil perselingkuhan” karena banyak anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

 

Sementara dampak buruk bagi negara adalah ketidakmampuan membuat perencanaan pembangunan dengan baik, seperti penyediaan sekolah, puskesmas, lahan permukiman, dan pelayanan sosial lainnya. Lebih mengerikan lagi adalah terjadinya kemerosotan pendidikan (karena banyak anak tidak bersekolah), perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal, dan sebagainya.

 

Sebagaimana disadari, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan wilayah daratan—terutama di luar Jawa—dalam kondisi berhutan dan berawa sehingga transportasi dan komunikasi masih sangat sulit dan terbatas. Alhasil, untuk membuat akta kelahiran, butuh waktu beberapa hari perjalanan menuju kota kabupaten, dengan biaya sangat besar. Kondisi ini menjadikan akta kelahiran sebagai kebutuhan mewah dan asing bagi mereka yang tinggal di pedalaman dan pulau-pulau terpencil.

 

Sebuah terobosan

 

Guna mengatasi mahalnya biaya penetapan pengadilan dalam pencatatan kelahiran yang terlambat satu tahun, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran No 06 Tanggal 06 September 2012. Surat edaran (SE) kepada ketua pengadilan negeri itu memerintahkan untuk melakukan sidang keliling secara berkala, berkoordinasi dengan dinas kependudukan dan catatan sipil setempat.

 

Seperti dituturkan oleh Hakim Agung/Ketua Muda Perdata MA Suwardi, dalam pertemuan dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) yang dimotori Slamet Effendy Yusuf, “MA sangat mendukung program percepatan kepemilikan akta kelahiran, tetapi tahun 2013 ini terbentur persoalan anggaran untuk sidang keliling. Oleh karena itu, diharapkan dapat diatasi tahun 2014 sehingga SE MA tersebut dapat dilaksanakan dengan efektif.”

 

Lebih lanjut dikatakan, “Komponen biaya pada pengadilan negeri dapat ditekan apabila sidang dilakukan secara kolektif, terutama pada komponen biaya pemanggilan. Sebab, untuk sidang kolektif, cukup membayar satu kali panggilan untuk sejumlah pemohon, baik di dalam maupun di luar gedung pengadilan. Adapun bagi pemohon yang secara ekonomi tidak mampu, biaya penetapan pengadilan dapat dibebaskan dengan melampirkan keterangan tidak mampu dari lurah/kepala desa.”

 

SE MA ini ditindaklanjuti pula oleh Menteri Dalam Negeri melalui SE No 472.11/3647/SJ tanggal 19 September 2012. Surat kepada para gubernur dan bupati/wali kota itu menginstruksikan supaya penetapan pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan secara kolektif dan dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh karena itu, diperlukan dorongan kepada para bupati/wali kota dan ketua pengadilan negeri agar mau dan konsisten melaksanakan SE MA dan SE Mendagri itu.

 

IKI yang di awal berdirinya untuk mengawal pelaksanaan UU Kewarganegaraan dan UU Administrasi Kependudukan cukup agresif menyosialisasikan Nota Kesepahaman delapan Menteri, SE MA, dan SE Mendagri ke daerah-daerah. Di antaranya dengan membuat nota kesepahaman dengan sejumlah bupati/wali kota dan ketua pengadilan negeri setempat.

 

Langkah yang dilakukan IKI ini cukup efektif. Terbukti, setelah dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara IKI dan bupati/wali kota dan/atau ketua pengadilan negeri, seperti di Kota Tebing Tinggi, Kota Batam, dan Kabupaten Bangka (Sungailiat), sudah ribuan orang terjaring dan terproses pencatatan akta kelahirannya.

 

Kita semua sepakat bahwa UUD 1945 menjamin setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Juga mendapat kepastian hukum yang adil, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

 

Oleh karena itu, apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ini serius, penerbitan akta kelahiran harus gratis, tanpa adanya penetapan pengadilan. Lebih dari itu, negara wajib “menjemput bola” melalui rumah sakit, puskesmas, dan sekolah-sekolah. UU yang masih bertentangan dengan semangat ini perlu dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

 

Prasetyadji : Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa

(Kompas cetak, 12 Juni 2013)

Prasetyadji duduk mengemban salah satu anak PA Bhakti Luhur Lebak Bulus, bersama Suster Pengasuh dan anak-anak panti yang lain – yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara.

 

 

Akta Kelahiran dan BPJS

Oleh : PRASETYADJI

Mariua digendong peneliti senior Institut Kewargangaraan Indonesia (IKI) Prasetyadji bersama Prof DR Hamid Awaludin mantan Menteri Hukum dan HAM, salah satu tokoh pendiri IKI

KOMPAS, Jumat, 29 Januari 2016

Sudah tiga bulan ini Maria Virginia tergolek di boks bayi. Napasnya tersengal-sengal, sesekali ia menangis karena kehausan dan mungkin merasakan kesakitan yang luar biasa. Bayi merah ini mempunyai kelainan jantung dan tidak memiliki lubang anus sejak lahir. Bayi yang dibuang orangtuanya ini kondisinya sungguh memprihatinkan saat ditemukan, badannya dikerubungi semut dan lalat, apalagi kondisi tubuhnya membutuhkan perawatan ekstra.

 

Maria Virginia ditemukan Nanik Purwoko di pinggir rel kereta api di daerah Kebayoran Lama tiga bulan lalu. Saat ini ia diasuh di Panti Asuhan Abhimata, Tangerang Selatan, menunggu akta kelahiran untuk mengurus kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Untuk pengobatan di rumah sakit, operasi jantung, dan sekaligus membuat lubang anus, dibutuhkan biaya sekitar Rp 350 juta. Sungguh tidak sedikit.

 

Mengingat biaya operasi yang begitu besar, saat ini tengah diupayakan membuat kartu BPJS. Namun, persyaratan membuat kartu BPJS adalah wajib melampirkan akta kelahiran. Padahal, bagi anak-anak yang tidak diketahui asal-usul atau keberadaan orangtuanya, untuk membuatkan akta kelahirannya harus dilengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian.

 

Yang menjadi permasalahan adalah sejak Republik Indonesia merdeka sampai hari ini belum pernah ada format BAP dari kepolisian, sementara format BAP yang ada merupakan turunan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Diakui Menteri Dalam Negeri bahwa sampai dengan hari ini masih ada 70 persendari 250 juta masyarakat Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran.

 

Apa yang dialami Maria Virginia adalah gambaran permasalahan anak-anak yang tidak diketahui asal usul dan keberadaan orangtuanya di seluruh panti asuhan dan rumah singgah di seluruh Indonesia. Mirisnya, para pejabat di kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) tidak berani mengambil langkah diskresi untuk menerbitkan akta kelahiran yang seharusnya menjadi hak anak-anak yang lemah, miskin, dan terpinggirkan ini.

 

Timbul pertanyaan, sejauh mana tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak anak-anak ini? Apa upaya pemerintah dalam pemenuhan hak anak-anak ini sebagai wujud dari pelaksanaan UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar?

 

Sungguh sedih dan memilukan betul nasib anak-anak yatim-piatu ini. Terobosan Maria, dan Maria-Maria lain di panti-panti asuhan di seluruh Indonesia tentu memiliki mimpi agar dapat sekolah untuk menggapai asa menjadi orang pintar dan memperbaiki nasib. Mereka juga bermimpi mendapatkan jaminan kesehatan melalui BPJS.

 

Saat ini, mereka menjadi korban peraturan perundangan yang dibuat pemerintah dan para anggota DPR. Bahkan, putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-XI/2013 secara tegas menyatakan bahwa “seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya”.

 

Kenyataan ini menunjukkan bahwa dari sisi peraturan perundangan, mereka dianggap “bukan manusia” dan dalam pergaulan internasional, negara dapat dianggap abai terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai welfare state(negara kesejahteraan).

 

Ada angin segar dari Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam NegeriProf Dr Zudan Arif Fakrulloh ketika berdiskusi intensif dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kamis, 7 Januari 2016, yang menegaskan bahwa sesungguhnya anak-anak ini warga negara Indonesia, sebagaimana Pasal 4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, yang menyatakan bahwa “anak yang lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya adalah warga negara Indonesia”.

 

Artinya, Maria Virginia adalah warga Negara Indonesia, dan sesuai UU 23/2002 harus segera dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai biaya. Format khusus Langkah terobosan yang akan dilakukan profesor muda ini adalah menerbitkan format khusus akta kelahiran bagi anak-anak yang tidak diketahui asal usul dan keberadaan orangtuanya dengan mempertimbangkan masalah kejiwaan dan kemanusiaan agar anak-anak ini nantinya (setelah dewasa) tidak minder terhadap statusnya.

 

Dirjen Dukcapil juga menyederhanakan persyaratan administrasi, yaitu khusus anak panti cukup melampirkan surat pernyataan dari kepala panti sebagai penanggung jawab.

 

Maria dan teman-temannya yang bernasib sama terus berharap masih ada kepastian hukum di republik ini. Anak-anak yang tidak berdosa ini menyimpan satu pengharapan, yaitu pemerintah mau menyentuh mereka dengan langkah-langkah diskresi agar mereka dapat memiliki akta kelahiran, mengakses pendidikan, mengakses jaminan kesehatan, dan mengakses hak-haknya sebagai warga negara Republik Indonesia.

 

Semoga negara tidak membunuh harapan-harapanmereka, tetapi justru negara segera hadir dan siap menyelamatkan masa depan mereka.

 

PRASETYADJI, PENELITI SENIOR INSTITUT KEWARGANEGARAAN INDONESIA

Copy the BEST Traders and Make Money : 

 

Sumber: KOMPAS

Tokoh Tionghoa dan Masalah Kewarganegaraan

Para Tokoh Senior yang peduli terhadap masalah kewarganegaraan dan kependudukan

Photo LST-LSLKetika embrio Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk lewat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggotanya terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras, maupun antar-golongan. Antara lain tokoh Arab (Baswedan), tokoh peranakan Belanda (PF Dahler), dan empat orang tokoh peranakan Tionghoa.

Mereka adalah Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, dan Yap Tjwan Bing. Nama terakhir juga masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada awal kemerdekaan Indonesia sampai berakhirnya pemerintahan Bung Karno, ada enam orang tokoh Tionghoa yang duduk dalam pemerintahan. Mereka adalah: Ong Eng Die, Mohammad Hasan, Oei Tjoe Tat, David Chen Chung, Lie Kiat Teng (Mohammad Ali), Tan Po Gwan.

Peran politik warga Tionghoa bukan hanya dalam kabinet, namun dalam diplomatik politis, terdapat nama seperti: Dr Tjoa Siek In, yang ditunjuk pemerintah Indonesia dalam perundingan Renville.

Begitu pula Dr Sim Kie Ay yang oleh pemerintah ditunjuk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil dari KMB adalah dibentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pada masa Demokrasi Parlementer, tahun 1950-1959, minimal ada delapan orang peranakan Tionghoa menjadi anggota legislatif, yaitu: Tan Po Gwan, Tjoa Sie Hwie, Tjung Tin Jan, Tan Boen Aan, Teng Tjin Leng, Siauw Giok Tjhan, Tjoeng Lin Sen (diganti Tio Kang Soen), dan Yap Tjwan Bing (diganti Tony Wen atau Boen Kim To).

Mengenai keturunan Tionghoa, tahun 1950 pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah RRT dan mulai mengadakan pembicaraan mengenai masalah dwi-kewarganegaraan RI-RRC.

Hal ini disebabkan karena UU kewarganegaraan RRT menerapkan asas ius sanguinis, sementara UU kewarganegaraan RI menerapkan asas ius soli, sehingga terjadi kewarganegaraan ganda bagi sebagian warga Tionghoa di Indonesia. Artinya secara hubungan darah sebagai warga negara RRT, namun dari sisi kelahiran sebagai WNI.

Nota perjanjian ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Sunario dan Perdana Menteri RRT Chou En-Lai di Bandung 22 April 1955. Pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan itu dimulai tanggal 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962.

Dwi Kewarganegaraan

“Bencana kewarganegaraan” bagi etnis Tionghoa mulai muncul ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 1959 tanggal 16 Nopember 1959 atau dua bulan menjelang berlakunya pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan RI-RRT.

Perpres itu berisi larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan.

Yang dimaksud dengan “perusahaan perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing” adalah yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia. Yang terjadi di lapangan adalah, hampir semua etnis Tionghoa diusir dari wilayah desa maupun kecamatan untuk menuju daerah swatantra tingkat I dan II.

Saat perjanjian dwi-kewarganegaraan dilaksanakan (Januari 1960 – Januari 1962), mereka diberikan dokumen “Exit Permit Only” (EPO) untuk meninggalkan Indonesia.

Tidak semua pemegang exit permit only dapat meninggalkan Indonesia, karena konon pemerintah RRT hanya mengirim dua kapal.

Dari waktu ke waktu, exit permit only ini dikonversi menjadi dokumen asing seperti Surat Pendaftaran (SP), Surat Tanda Pelaporan (STP), Pendaftaran Orang Asing (POA), Keterangan Izin Menetap Sementara (KIMS), dan lain-lain.

Dalam tahun-tahun berikutnya, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk, kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Kehakiman Nomor J.B.3/4/12 tahun 1978 yang menyatakan bahwa “untuk lalu lintas sehari-hari diperlukan SBKRI dalam bentuk yang ringkas, jelas, dan mudah dikenal oleh umum”, maka ada kewajiban bagi warga peranakan Tionghoa untuk memiliki SBKRI. (Inilah cikal bakal munculnya persyaratan SBKRI).

Peraturan Menteri Kehakiman tersebut ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan Surat Edaran Menkeh Nomor JHB.3/31/3 tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri maupun kepala perwakilan RI di luar negeri.

Intinya “mewajibkan” para peranakan untuk memiliki SBKRI, dan dalam praktik hanya peranakan Tionghoa. Fenomena ini menjadi berkepanjangan karena untuk pengurusan surat-surat selalu dipersyaratkan SBKRI.

Masalah kewarganegaraan inilah yang hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun masih berbuntut hingga hari ini. Kenapa? Karena para pemukim pemegang EPO beserta keturunannya dianggap menjadi asing walaupun secara turun-temurun mereka lahir di Indonesia.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa secara keseluruhan. Karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), dan dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan gerakan G-30-S tersebut, akibatnya praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status kewarganegaraan mereka.

Akibat lain yang ditimbulkan antara lain adalah dibubarkannya organisasi-organisasi yang identik dengan etnis Tionghoa, seperti Chung Hwa Hui (CHH), juga sekolah-sekolah Tionghoa, dan lain-lain.

Peran tokoh Tionghoa

Lie Siong Tay dan Njoo Han Siang pada akhir tahun 1960-an menciptakan sarana komunikasi (semacam Informal Konghwe) dan melakukan pendekatan kepada pihak pemerintah agar ada saluran untuk mencairkan “ketakutan” yang dialami warga Tionghoa itu.

Dalam perkembangannya, kedua tokoh ini mengajak Liem Sioe Liong, William Soeryadjaya, tokoh muda ketika itu seperti K Sindhunatha, Harry Tjan Silalahi, dan lain-lain untuk mendesak pemerintah menyelesaikan masalah status kewarganegaraan.

Desakan demi desakan akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah menerbitkan kebijakan-kebijakan, yaitu: (1) Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980, menyelesaikan +/- 500.000 pemohon di lima wilayah yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Bagian Selatan, Riau, dan Jabotabek.

(2) Penyelesaian Imigran Gelap untuk mendapatkan penetapan pengadilan, dan pemberian SBKRI Susulan khusus di Provinsi Kalimantan Barat, tahun 1992.

(3) Dibentuknya Tim Asistensi Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim China (TP4C) tahun 1995, sebagai kebijakan naturalisasi yang dipermudah, menyelesaikan +/- 180.000 pemohon. Pengurus yang masuk dalam Tim Asistensi TP4C, antara lain: Penasehat: Prof Dr Juwono Sudarsono, Pembina: Soedono Salim (Liem Sioe Liong), Susanta Lyman (Lie Siong Tay), Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Anthony Salim; Usman Admadjaja dengan Ketua Pelaksana, Osbert Lyman dibantu Indradi Kusuma dan lain-lain.

Kepedulian dari para tokoh senior ini cukup konsisten yang kemudian diteruskan generasi selanjutnya seperti Murdaya Poo, Osbert Lyman, Anthony Salim, Anton Setiawan, dan lain-lain hingga terbit Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Tidak ada salahnya Pemerintah memberikan apresiasi atas perjuangan kemanusiaan dari para tokoh lintas etnis dan agama ini, terhadap apa yang telah mereka rintis dan perjuangkan di bumi Indonesia.

*) Paschasius HOSTI Prasetyadji (Penulis) adalah pemerhati masalah Tionghoa dan peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia, tinggal di Jakarta.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/02/03/18370141/Tokoh.Tionghoa.dan.Masalah.Kewarganegaraan