Akta Kelahiran 3,2 Juta Anak Yatim
Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji
KOMPAS, Sabtu, 08 Juli 2017
Gara-gara tidak memiliki akta kelahiran dan tidak tercatat dalam kartu keluarga, dua anak cerdas dari Panti Asuhan Pintu Elok Tangerang, Jenifer dan Trisena, tidak dapat memperoleh haknya sebagai penerima beasiswa pendidikan.
Hal senada dialami Agnes dari Pulau Lembata di Panti Asuhan Roslin, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang diasuh Budi Soehardi, mantan pilot Singapore Airlines, yang mendedikasikan diri bersama istrinya, Rosalinda Panagia Maria Lakusa, untuk mengurus anak-anak yatim piatu.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa “setiap anak berhak mendapatkan status kewarganegaraan dan dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai biaya”. Sumber Kementerian Dalam Negeri tahun 2016 menyatakan bahwa saat ini ada 32 juta dari 85 juta anak di Indonesia, termasuk yatim piatu, tidak memiliki akta kelahiran. Sementara 40 persen dari 170 juta penduduk di atas 18 tahun diperkirakan tidak memiliki akta kelahiran.
Berbicara tentang hak sipil yang melekat pada diri setiap anak, konstitusi kita mengatur bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dalam pemerintahan; dan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan” (UUD 1945 Pasal 28D Ayat 1 dan 4).
Diskresi
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 18/PUU-XI/2013 menegaskan, “Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya, serta tidak terlindungi keberadaannya.”
Menteri Dalam Negeri akhirnya mengambil langkah diskresi dengan menerbitkan Peraturan Nomor 9 Tahun 2016 tentang percepatan peningkatan cakupan kepemilikian akta kelahiran. Pasal 3 Ayat (2) huruf b dalam peraturan inilah yang memberikan angin segar kepada anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orangtuanya, untuk dapat membuat akta kelahiran.
Peraturan ini menegaskan bahwa “pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orangtuanya dilakukan dengan melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak atau SPTJM kebenaran data kelahiran yang ditandatangani wali atau penanggung jawab”.
Diakui oleh Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan SipilProf DR Zudan Arif Fakhrulloh SH MH bahwa, “Kita harus mempertimbangkan masalah kejiwaan dan kemanusiaan agar anak-anak ini nantinya (setelah dewasa) tidak minder terhadap statusnya,” katanya. Langkah yang diambil Zudan cukup revolusioner, minimal 3,2 juta anak yatim di Indonesia (sumber Yayasan Yatim Mandiri, 2012) dapat diselamatkan status kewarganegaraan dan kependudukannya.
Sebelum terbitnya Permendagri No 9/2016, untuk mengurus akta anak yatim ini diwajibkan melampirkan berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian, sementara format BAP yang ada di kepolisian adalah turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya untuk kasus kriminal. Padahal, anak yatim ini bukan tersangka kriminal sehingga, sejak Republik Indonesia ini berdiri, belum pernah ada anak yatim yang memiliki akta kelahiran.
Ironis
Sayangnya, langkah maju profesor muda ini tidak dilaksanakan para pelaksana di lapangan. Banyak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) di daerah tak mengetahui kebijakan SPTJM. Akibatnya, banyak anak di daerah tidak bisa memiliki akta kelahiran karena tidak diketahui siapa orangtuanya.
Ada dua kemungkinan ketidakpahaman aparat dukcapil di daerah terkait terobosan hukum ini. Pertama, karena kurangnya sosialisasi oleh pemerintah pusat. Kedua, lemahnya SDM aparat dukcapil di daerah. Hanya segelintir saja kantor dinas dukcapil di daerah yang memiliki SDM yang paham masalah kependudukan dan pencatatan sipil, sementara SDM atau aparatkebanyakan hanya “buangan” dari bagian atau suku dinas lainnya.
Apa yang dialamiJenifer, Trisena, dan Agnes adalah gambaran anak-anak yatim yang tak diketahui asal-usul dan keberadaan orangtuanya di seluruh panti asuhan di Tanah Air. Terhadap masalah ini, kita semua diingatkan untuk selalu mengusahakan keadilan dan memperjuangkan perkara-perkara janda dan hak anak-anak yatim.
Anak-anak yatim ini berharap agar Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil segera menyosialisasikan kebijakan SPTJM ini kepada para pejabat dukcapil di daerah untuk menyelamatkan masa depan mereka.Tentu bukan hanya sekadar sosialisasi, melainkan harus ada sanksi bagi pejabat dukcapilyang bandel.
PRASETYADJI, PENELITI SENIOR INSTITUT KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul “Akta Kelahiran 3,2 Juta Anak Yatim”.
http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2017/07/akta-kelahiran-32-juta-anak-yatim.html