Bukti Kewarganearaan Itu Adalah Akta Kelahiran

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

KORAN SINDO – SABTU, 8 APRIL 2017 | 16:58

Perdebatan mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) khususnya bagi warga peranakan Tionghoa muncul kembali dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), beberapa waktu yang lalu.

 

Dalam banyak kasus, masalah SBKRI ini selalu muncul terutama ketika seseorang mengurus dokumen, baik untuk melanjutkan sekolah, mengurus paspor di kantor imigrasi, mengurus perkawinan di kantor dinas kependudukan & catatan sipil, maupun pengurusan dokumen pada instansi pemerintah lainnya.

 

Kondisi ini amat sangat memprihatinkan, padahal berbagai regulasi mengenai masalah kewarganegaraan dan kependudukan telah dibuat pemerintah dan DPR, seperti UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

 

Secara regulasi, Negara dipandang telah cukup memberikan jaminan pemenuhan hak-hak kewarganegaraan dan kependudukan. Namun dalam praktek di lapangan masih terjadi penafsiran yang berujung pungutan disana-sini yang membebani rakyat ketika mengurus haknya.

 

Sejarah Kewarganegaraan

Bicara masalah kewarganegaraan Indonesia, tentu tidak terlepas dari sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan oleh segenap rakyat dari berbagai latar belakang suku, agama, ras/etnis, dan golongan.

 

Hal ini menjadi sangat jelas apabila membaca Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dimulai pada bulan Mei 1945 sampai dengan bulan Agustus 1945. Di situ dijelaskan bagaimana para pendiri negara Republik Indonesia membicarakan hal-hal terkait dengan negara yang akan dibentuk.

 

Sejarah pembentukan rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sangat relevan dengan persoalan kewarganegaraan yang dibicarakan dalam rapat besar pada hari Rabu Wage, tanggal 11 Juli 1945. Relevan, karena rapat ini membicarakan mengenai wilayah negara, dihadiri oleh berbagai ‘bangsa dan suku bangsa’ (para pendiri bangsa), dan berkesimpulan Indonesia merdeka meliputi wilayah Hindia-Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

 

Dari usulan Sumitro Kolopaking, dapat diyakini bahwa pembentukan negara Indonesia merdeka dilakukan dengan dukungan dari berbagai lapisan. Dengan kata lain adalah lintas etnik, agama, suku, dan sebagainya. Sebagai orang ‘tanah Jawa’ sikapnya sungguh toleran terhadap orang dari luar tanah Jawa, maupun peranakan lain seperti Hatta, Yamin, Maramis, Dahler, Liem Koen Hian, dll. Bahwa lambang Bhinneka Tunggal Ika merupakan jawaban tepat.

 

Menarik pula perbincangan antara anggota Soetardjo, Soepomo, dan Yamin. Soetardjo menanyakan bahwa “sebelum ada Undang-undang, siapa yang menjadi warga?”.

 

Jikalau itu suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh ahli hukum, Soepomo menegaskan, “maka untuk jawabannya kita melihat kepada peraturan yang menentukan, bahwa segala badan pemerintahan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru”.

 

Mendengar jawaban Soepomo itu, maka Soetardjo beranggapan bahwa “menurut aturan yang berlaku belum ada juga ketentuan tentang warganegara dan kita, orang Indonesia, semua Nederlandsch Onderdaan”. Hal ini diwadahi dalam pasal 1 ayat a dan b Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946, yaitu:
a) orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia;
b) orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut di atas akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu dan lahir, bertempat kedudukan dan kediaman di dalam daerah Negara Indonesia, dan orang bukan turunan seorang dari golongan termaksud, yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir di dalam daerah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin;

 

Mengenai masalah warga negara, Muhamad Yamin menegaskan bahwa “Yang menjadi warga negara, ialah orang bangsa Indonesia dan penduduk yang pada saat pelantikan bertempat kediaman di Indonesia, kecuali yang menyatakan dengan surat penolakan dalam waktu 6 bulan sesudah pelantikan itu”.

 

Diingatkan pula oleh Muhamad Yamin dengan minta perhatian betul-betul kepada para anggota sidang, “karena yang dibicarakan ini adalah hak rakyat. Karena kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet (konstitusi, red); grondwettelijke fout (kesalahan konstitusi, red), kesalahan Undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik; misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara, jangan dipikirkan bahwa hanya warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini. Jadi, harus dipikirkan betul-betul redaksinya; pertama-tama harus jelas buat republik. Jadi, sudah terang bahwa di belakang perkataan “warga negara” harus ditambah “penduduk”, seperti diatur oleh konstitusi-konstitusi lain. Karena hal ini berhubungan dengan hak soevereiniteit (kedaulatan, red) negara-negara lain”.

 

Selain itu, hubungan diplomatik Pemerintah Indonesia – RRC ketika itu juga sempat memanas. Kantor Berita Antara, Kamis Kliwon, 19 Mei 1960 menurunkan berita bahwa Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri meminta kepada Kedutaan Besar RRC agar dua Konsul RRC ditarik dari posnya, yaitu Liu Ching Yu, Konsul di Medan dan Chiang Yen, Konsul di Banjarmasin. Dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa hanya sedikit etnis Tionghoa yang berhasil berangkat ke RRC, sisanya yang diduga berjumlah sekitar seratusan ribu kepala keluarga menjadi pemukim di Indonesia sampai hari ini.

 

Sampai hari ini, masalah kewarganegaraan dan administrasi kependudukan masih menjadi belenggu yang mencengkeram bagi sebagian besar penduduk di Indonesia, karena untuk kepentingan tertentu, Instansi pemerintah seperti kementrian dalam negeri, kementrian pendidikan nasional, kementrian hukum dan hak asasi manusia, dll selalu mensyaratkan akta kelahiran dan SBKRI. Padahal kepemilikan akta kelahiran baru mencapai sekitar 40% dari penduduk di Indonesia, serta peraturan yang “mewajibkan” SBKRI bagi warga peranakan sudah dicabut seiring terbitnya UU No 12 tahun 2006.

 

Selanjutnya dokumen kewarganegaraan atau kependudukan, cukup dibuktikan dengan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, dan Kartu Tanda Penduduk.

Mulai hari ini, Negara seharusnya tidak perlu ragu dan bimbang dalam memberikan pelayanan yang dekat dengan masyarakat secara mudah dan gratis. Karena sudah begitu banyak regulasi terkait masalah kewarganegaraan dan kependudukan yang mewajibkan Negara pro-aktif menjemput bola di tengah-tengah rakyatnya.

 

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Oleh karena itu, tanpa akta kelahiran, anak tidak punya identitas diri dan status kewarganegaraan.

 

Prasetyadji :

Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia ( IKI ) Jakarta.

 

Sumber :

Prasetyadji bersama KH Saifullah Ma’shum Ketua II IKI dan Haripinto Anggota DPD Kepri dalam acara Sosialisasi akta kelahiran sebagai dokumen kewarganegaraan di Tanjung Balai Karimum, Kepulauan Riau.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *