ANALISIS PEMBEDAAN PERLAKUAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN
oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji
Dalam bidang pendidikan, seperti halnya dalam bidang kependudukan, WNI peranakan Tionghoa cenderung memperoleh perlakuan yang berbeda. Peraturan perundangan yang secara mendasar memberikan pembedaan perlakuan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
- Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tanggal 7 Juni 1967 tentang Kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina.
Pasal 7 : “Kecuali sekolah-sekolah Kedutaan untuk keperluan keluarga dan Korps Diplomatik dan Konsuler, tidak diperkenankan adanya sekolah-sekolah asing”.
Pasal 8 : “Anak-anak WNA yang menjadi penduduk Indonesia dianjurkan menjadi murid sekolah-sekolah nasional, baik yang negeri maupun yang swasta”.
Pasal 9 : “Di setiap sekolah nasional yang memiliki murid-murid WNA, jumlah murid WNI secara keseluruhan maupun di setiap kelas harus lebih banyak dari pada jumlah murid-murid WNA”.
- Surat Presiden kepada Menteri Pendidikan & Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri No. B-12/Pres/1968 tanggal 17 Januari 1968 tentang Masalah pendidikan sebagai pelaksanaan Pasal 7, 8, 9, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967.
angka 1 butir d menyatakan bahwa : “Penduduk WNA Cina diperbolehkan mengikuti pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah nasional dan untuk maksud itu dapat didirikan sekolah-sekolah nasional dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut : tempat yang disediakan bagi anak-anak WNA Cina adalah sebanyak 40% dan dalam setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak dari pada murid-murid WNA Cina”.
Sehingga apabila dicermati, kedua peraturan tersebut di atas, adalah peraturan yang mengedepankan adanya penduduk anak-anak Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia.
PERATURAN-PERATURAN MENTERI
Selanjutnya sejak tahun 1968, semua peraturan dalam bidang pendidikan yang biasanya dipergunakan sebagai dasar pelaksanaan pembauran, semuanya dilandaskan pada Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 serta Surat Presiden kepada Menteri Pendidikan & Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri No. B-12/Pres/1968.
Dalam peraturan-peraturan tersebut secara implisit, pembauran diberlakukan antara penduduk anak-anak WNA (yang dianggap WNA) dengan WNI, seperti :
- Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 072/U/1974 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 015/1968.
- Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 18/U/1974 tentang Pedoman pelaksanaan asimilasi
- Surat Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Dalam Negeri No. 54/1975 – 060a/P/1975 tentang Penunjukan Gubernur KDH Tingkat I sebagai penanggung jawab pengendalian pelaksanaan asimilasi di bidang pendidikan di daerah.
- Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 044/P/1975 tentang Pembentukan tim pembantu pelaksana asimilasi di bidang pendidikan dan pengaturan pendidikan asing di Indonesia.
Apabila dianalisis dari peraturan-peraturan tersebut di atas, maka konsepsi tentang pembauran/asimilasi cenderung mencakup anak-anak WNA. Sebagai dampaknya, anak WNI peranakan Tionghoa cenderung memperoleh perlakuan sebagai anak WNA Tionghoa.
Akibatnya, dalam bidang pendidikan terjadi perlakuan yang berbeda antara WNI peranakan Tionghoa dengan WNI yang lain. Dalam praktek di lapangan baik di sekolah negeri maupun swasta, penerimaan siswa baru cenderung menerapkan pola 40% WNI peranakan dan 60% WNI lainnya. Walaupun acuan prosentase 40% tersebut sesungguhnya bukan untuk sesama anak WNI (pri non pri), melainkan untuk anak WNA.
Praktek pendidikan yang demikian tentu tidak sejalan dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, terutama pasal 27 UUD 1945 maupun UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Karena itu, penyelesaian masalah pembedaan perlakuan dalam bidang pendidikan tersebut adalah dengan kembali kepada produk hukum dan perundangan yang memberikan perlakuan yang sama antara sesama anak WNI. ***
Catatan di akhir tahun 1990-an