Nilai Moral Wawasan Kebangsaan

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

SUARA KARYA, Rabu, 5 September 2007

Keresahan sosial dua setengah tahun terakhir ini menunjukkan bahwa pencapaian pembangunan menyimpan potensi-potensi disintegrasi bangsa. Gejolak sosial yang terjadi menunjukkan betapa masih rawannya pemahaman nilai-nilai kebangsaan. Yang memprihatinkan, ternyata konflik sentimen klasik antaretnis masih terlihat sangat menonjol. Banyak orang mengatakan, kecemburuan sosial diyakini sebagai akar pemicu.

Dalam perspektif yang luas, upaya menggalang persatuan dan kesatuan bangsa secara terus-menerus adalah penting. Jika itu tidak dilakukan, maka masalah tersebut dapat merupakan sumber ancaman yang potensial munculnya kerawanan sosial kultural, rasial, sosial ekonomi, dan sosial politik yang bersifat disintegratif.

Kita tentu menginginkan suatu tata kehidupan yang rukun, mengembangkan diri tanpa merugikan golongan lain dan bahkan membantu, mendukung golongan lain, sehingga terwujud suatu masyarakat yang demokratis, adil, dan pluralis.

Memperjuangkan cita-cita yang demikian tentu tidak mudah, dan tidak begitu saja terwujud. Itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Bukan pula tugas orang per orang atau golongan-golongan tertentu saja, tetapi tugas seluruh nation, tugas kita semua.

 

 

 

Untuk mewujudkan pemikiran tersebut kita perlu menoleh kembali paham kebangsaan seperti yang digagaskan oleh para pendiri bangsa kita. Paham yang dianut adalah seturut dengan pemikiran seperti Ernest Renan, Otto Bauer, dan Bung Karno dengan patriotismenya. Sejak dulu ditekankan bahwa keIndonesiaan kita adalah dalam pengertian etis, bukan etnis dan agamis.

Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di BPUPKI mengingatkan bahwa syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa itu le disir d’etre ensemble, yaitu kehendak untuk bersatu. Sementara Otto Bauer mengatakan, eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft: bangsa adalah komunitas bercita-cita yang tumbuh dari komunitas senasib.

Masalahnya, dalam perkembangan sekarang ini tampak adanya disintegrasi yang mengacu pada etnisitas dan keagamaan. Dengan demikian keIndonesiaan dikhawatirkan menjadi mencair. Karenanya, usaha-usaha untuk memantapkan kembali konsep kebangsaan menjadi sangat perlu.

Masalah ekonomi bersifat universal, untuk semua orang. Rakyat Indonesia ada yang menikmati kesejahteraan, namun bangun masyarakat kita saat ini masih menunjukkan ketimpangan. Sebagian besar rakyat hanya memiliki sedikit saja atau malah hampir tidak memiliki apa-apa dari proses pembangunan. Yang sungguh menyedihkan justru orang-orang kecil dan miskin dituntut untuk berkorban demi pembangunan.

Kekayaan alam diciptakan oleh Tuhan bagi kita semua, bukan untuk dijadikan rebutan. Oleh sebab itu, praktik-praktik nepotisme, korupsi, dan kolusi, tidak boleh dibiarkan, apalagi kalau itu didorong oleh keserakahan atau didukung oleh suatu jabatan dan kekuatan politik.

 

 

Kalau ditelusuri mungkin akan kelihatan bahwa industri kita berkembang antara lain karena pengorbanan para buruh yang meskipun upahnya sangat rendah, tetapi bekerja keras sepanjang hari. Dari sisi lain, ada kultur feodal yang bukan hanya hidup dalam pergaulan masyarakat sehari-hari, tetapi merambah juga (dan mungkin sudah mendarah-daging) dalam bidang ekonomi dan bidang politik. Ini tentu mengakibatkan kecenderungan seorang (bawahan) akan ketakutan mengambil suatu keputusan-walaupun itu sudah menjadi kewenangannya-sebelum minta petunjuk atasannya. Apakah dia bodoh, belum tentu! Dia orang terdidik, namun cenderung “dipaksa” menjadi bego.

Dari sisi hukum, ada kecenderungan tidak diterapkannya sistem hukum secara konsisten. Bahkan tidak jarang kekerasanpun diterapkan, misalnya dalam penggusuran atau penanganan masalah-masalah sosial lain. Pengadilan belum dapat dijadikan “terminal terakhir” bagi pencari keadilan, karena pengadilan dianggap dapat “direkayasa” untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.

Kecenderungan ini terjadi karena ada ketimpangan antara kualitas aparat penguasa dengan profesionalisme yang dituntut oleh laju pembangunan. Sedihnya, banyak oknum senang mengaku hanya pelaksana kalau berhadapan dengan kewajiban. Perlu disadari bahwa usaha ekonomi yang ingin maju dan berkembang tidak bisa melepaskan diri atau menutup diri terhadap kehidupan ekonomi internasional, apalagi saat ini kita berada di tengah-tengah perdagangan bebas.

Kepentingan nasional sekarang mensyaratkan wawasan bisnis yang mengglobal. Namun, yang harus dijaga adalah agar wawasan internasional jangan sampai mengorbankan atau merugikan kepentingan nasional karena terdorong oleh kepentingan dan pertimbangan pribadi, keluarga atau kelompok semata-mata.

 

Dengan demikian diharapkan dapat tercipta suasana sense of belonging dan sense of responsibility di antara sesama warga bangsa kita. Semua akan merasa at home di Tanah Air ini dan tidak perlu melirik ke negara asing agar merasa lebih at home.

Menilik kondisi sosial yang demikian, maka perlu dilakukan upaya-upaya pemahaman yang benar, mendalam dan komprehensif mengenai paham kebangsaan Indonesia. Mekanismenya adalah melalui langkah-langkah strategis. Misalnya, perlu adanya kebijakan investasi yang berorientasi pada upaya pemerataan, bukan mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi semata. Perjuangan hukum dan hak asasi manusia harus berkaitan dengan pembentukan masyarakat madani atau masyarakat yang semakin mampu untuk memperjuangkan hukum. Dengan demikian sengketa-sengketa dapat diproses dan diselesaikan secara konstitusional, bukan dengan pemerasan, apalagi kekerasan.

Upaya lain yang tidak kalah penting adalah, kita perlu memungut kembali nilai-nilai moral lokal yang tertinggal guna menjawab keprihatinan terhadap budaya vested interest dalam seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.***

 

Penulis adalah Sekretaris Dewan Pengurus Pusat
Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (DPP-FKKB)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *