Fluktuasi Hubungan RI-Malaysia

Oleh Prasetyadji & Wishnu Hardi

SUARA PEMBARUAN

Page Last modified : 03/21/2006 13:54:03

 

HUBUNGAN bilateral antara Indonesia dan Malaysia terus mengalami fluktuasi. Klaim territorial, tudingan sebagai negara yang melindungi penadah hasil pembalakan liar (illegal logging), penganiaya & pengusir tenaga kerja Indonesia (TKI), serta pengancaman para nelayan Indonesia seperti yang terjadi beberapa hari lalu, seolah menjadi issue yang tidak ada habisnya.

Permasalahan tenaga kerja Indonesia di Malaysia memang cukup kompleks, tidak sedikit pemasukan devisa dari mereka ke daerah asal. Namun, semua itu amat sangat bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi terhadap ratusan ribu TKI di Malaysia. Dari reportase media massa, sungguh sangat memilukan, cambukan, makian, siksaan fisik, dan bahkan tidak sedikit yang diperkosa menjadi realitas potret TKI kita di Malaysia.

Pemaparan ini tentu bukan bermaksud untuk membahas bagaimana seharusnya nasionalisme kita diartikulasikan, tetapi sekadar untuk merefleksikan bagaimana kian tersudutnya negara kita terhadap Malaysia dalam berbagai dimensi di tengah pasang-surutnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia.

 

 

Tenaga Kerja Indonesia

Masyarakat dunia pasti tidak dapat memungkiri, bahwa para TKI lah yang berjasa dalam membangun berbagai infrastruktur strategis di Malaysia, dari konstruksi bangunan hingga sektor agroindustri seperti perkebunan kelapa sawit.

Gedung-gedung pencakar langit dan megahnya bangunan-bangunan fasilitas publik menjadikan Kuala Lumpur menjadi kota yang relatif lebih modern dari Jakarta. Sebut saja Twin Towers Petronas, Kereta Monorail, Jalan Tol, Kuala Lumpur International Airport, hingga fasilitas di lingkungan Istana Kerajaan adalah bukti nyata kontribusi TKI dalam percepatan pembangunan ekonomi di sana.

Bahkan, ada yang mengatakan bahwa TKI tidak dapat dipisahkan dengan modernisasi di Malaysia. Karena sudah menjadi fakta umum, bahwa karakter orang Malaysia adalah pemalas (dulu – maklum sesama negara bekas jajahan), apalagi untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan tenaga. Mental orang Melayu lebih suka menjadi birokrat sementara etnis pendatang lebih tertarik pada sektor ekonomi.

Bahkan, ada sebuah fakta ironis yang sangat menyudutkan martabat bangsa. Twin Towers Petronas Malaysia yang diklaim sebagai gedung tertinggi di dunia, 90 persen pengerjaannya dilakukan oleh para TKI. Ketika proyek pembangunannya belum selesai mereka tidak dihambat oleh aturan mengenai status ketenagakerjaan yang berlaku di sana atau dengan kata lain mereka dianggap legal, namun selang beberapa waktu kemudian, ketika Twin Towers sudah selesai masa pembangunannya dan menjadi icon dan kebanggaan di negeri jiran tersebut, para TKI berubah status menjadi illegal – menjadi “buron” !

Setidaknya, pemulangan 800.000 TKI yang dianggap illegal beberapa waktu lalu adalah salah satu bukti kebijakan politik Malaysia yang tidak mengindahkan nilai-nilai etis maupun moral.

Begitu pula derita yang dihadapi oleh TKI yang bekerja di sektor kehutanan. TKI pekerja kayu balak semakin tidak dihargai. Habisnya cadangan kayu Malaysia menjadi alasan pengusiran para TKI di sektor agroindustri. Padahal, TKI lah yang berjasa dalam proyek-proyek konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas utama di Malaysia.

Kenyataan ini amat sangat pahit, TKI yang membawa Malaysia sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di Asia Tenggara, diperlakukan secara amat kejam dan tidak adil, sementara Malaysia menutup mata terhadap para pelaku illegal logging di Indonesia yang sebagian besar adalah warga negaranya.

Bagi Malaysia, keberadaan TKI merupakan salah satu variabel strategis dalam politik pembangunan yang sedang dijalankannya. Sementara bagi kita lebih cenderung memiliki dimensi moral dan etis, meskipun TKI mendapatkan upah, tetapi mereka tetap membawa nama bangsa. Karena itu, ketika mereka diperlakukan secara tidak adil dan tidak manusiawi, maka harga diri bangsa menjadi taruhannya.

 

Klaim Teritorial

Dalam masalah teritorial, ketika zaman pemerintahan Sukarno, “harga diri” bangsa Indonesia benar-benar dihormati oleh negara-negara tetangga. Prinsip “sedumuk bathuk senyari bumi” (mempertahankan sejengkal wilayah, dan nyawa menjadi taruhannya), dihayati betul oleh seluruh lapisan masyarakat.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika pada tanggal 20 Januari 1963, Menlu Subandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan dengan Malaysia. Dan, bara peperangan semakin nyata, ketika Presiden Sukarno pada tanggal 27 Juli 1963 mengatakan bahwa akan meluluh-lantakkan, akan menghancurkan Malaysia.

Klaim teritorial adalah sebuah potensi konflik di kawasan Asia Tenggara yang tak ada hentinya. Nuansa konfliknya pun mengalami pergeseran dari kepentingan ideologis menjadi kepentingan ekonomis.

Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia diawali oleh Keinginan Britania untuk melakukan penggabungan koloninya, yakni Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Malaysia pada tahun 1961. Saat itu, Sukarno melihat bahwa penggabungan tersebut hanya akan menambah kontrol Britania di kawasan itu dan merupakan wujud neo-imperialisme, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga merasa keberatan, karena wilayah Sabah diklaim menjadi kawasan teritorialnya.

Dari kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa sejak awal, Sukarno tidak ingin melihat bangsa Indonesia kecolongan dan diinjak-injak harga dirinya. Tindakan ini sesungguhnya dapat diintepretasikan sebagai perwujudan dari pernyataan konsistensi dan harga diri bangsa. Atas nama nasionalisme, maka segala bentuk manifestasi imprealisme harus dihancurkan. Di masa sekarang ini, ketika penggunaan kekuatan militer tidak lagi begitu berperan dalam kepentingan politik dan ekonomi regional maupun internasional, maka strategi diplomasi interna- sional seharusnya menjadi ujung tombak.

Namun, apa yang terjadi? Apa yang dikhawatirkan Sukarno, sekarang ini menjadi kenyataan. Contoh, pernyataan pers yang dikeluarkan oleh Menlu Hassan Wirajuda, pada tanggal 17 Desember 2002 tentang jatuhnya pulau Sipadan-Ligitan kepada Malaysia telah menyulut rasa kesal, amarah yang luar biasa kepada Malaysia.

Kita kehilangan dua pulau strategis karena lemahnya pengelolaan wilayah yang berada di titik-titik terluar, dan hal ini sekaligus menunjukkan lemahnya kemampuan diplomasi kita di tingkat internasional. Sementara itu, kita tidak berdaya manakala aparat Malaysia di perbatasan melonggarkan bahkan menghalalkan dan melindungi masuknya barang haram (kayu) dari Indonesia.

Ironis memang, dalam Paparan Lisan Menlu Hasan Wirajuda dalam Refleksi 2002 dan Proyeksi 2003 Departemen Luar Negeri yang disampaikan pada tanggal 8 Januari 2002, dikatakan bahwa kecuali sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah diselesaikan melalui Mahkamah Internasional, sejauh ini tidak ada lagi sengketa kepemilikan atas pulau-pulau terluar Indonesia. Pulau-pulau kecil seperti Miangas, Natuna dan Nipah bukanlah pulau sengketa dan juga tidak diklaim oleh negara lain.

 

Yang Harus Dilakukan

Malaysia memang negara pintar, eksportir terbesar kayu dunia walaupun tidak memiliki hutan. Namun nasi belum menjadi bubur. Sebagai bangsa pejuang, kita harus bangkit membenahi segala kelemahan yang ada. Pemaparan tersebut kiranya dapat menjadi sebuah refleksi sekaligus dorongan semangat untuk memulihkan derajat harga diri bangsa.

Oleh karena itu, pemerintah harus dapat menyudahi praktek korupsi yang menjadi akar permasalahannya dan penegakan hukum menjadi kunci penyelesaiannya.

Dan dalam upaya pemberantasan korupsi ini, akan lebih mencapai hasil optimal lagi, apabila Presiden tidak malu meniru China yang menghukum mati Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging maupun Deputi Walikota Leshan, Li Yushu, keduanya karena terlibat kasus korupsi.

Disamping itu, Pemerintah harus menciptakan investasi pada lahan-lahan yang sudah tidak produktif untuk perkebunan atau pertanian yang saat ini mencapai 50 juta hektar. Kenapa ? Karena hal ini saja sudah dapat menyerap tenaga kerja sekitar 25 juta orang dari 36 juta penduduk miskin. Dengan demikian jutaan tenaga kerja dapat berkarya di negeri sendiri.

Apabila hal ini dilakukan, mungkin dapat mendongkrak keterpurukan kinerja SBY-JK tetapi juga sekaligus mengujinya, apakah dia benar-benar mampu menegakkan hukum dan memulihkan derajat bangsa ini? Kita lihat saja! *

 

Penulis Adalah Sekretaris DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa dan Aktivis Mahasiwa, Anggota HMI Komisariat UI

 

 

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/03/21/index.html

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *