UU Kewarganegaraan, Karya Fundamental DPR
Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji
SUARA KARYA Kamis, 24 Mei 2007
Pada 11 Juli 2006 pukul 13.07 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia disahkan dalam sidang paripurna DPR-RI. Kemudian, pada 1 Agustus 2006 RUU tersebut disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 2006. UU itu menggantikan UU No 62 Tahun 1958 yang sarat diskriminasi gender, etnik, dan tidak adanya perlindungan hukum terhadap anak.
Langkah selanjutnya adalah sosialisasi UU oleh Menteri Hukum dan HAM, dan para anggota DPR yang terlibat dalam panitia kerja (Panja), dengan melibatkan perorangan atau lembaga yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah kewarganegaraan. Sosialisasi bertujuan untuk mendapatkan masukan pemikiran dari masyarakat, guna membuat petunjuk pelaksanaannya. Diawali di Jakarta, Makassar, Solo, Yogya, Bandung, Surabaya, Jambi, Batam, Bali, sosialisasi juga dijadwalkan dilakukan di wilayah Sumatera-Selatan serta Kalimantan-Barat.
Karya fundamental anggota DPR-RI 2004-2009 itu dianggap memberi perubahan yang sangat mendasar dalam bidang kewarganegaraan Indonesia. Salah satu perubahan mendasar adalah perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan sah seorang ayah warga negara asing (WNA) dan ibu warga negara Indonesia (WNI) tetap menjadi WNI.
Demikian juga anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau hukum negara asal ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut. Bahkan, anak yang lahir di wilayah negara RI, yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya pun adalah WNI.
Selain itu, kehilangan kewarganegaraan RI bagi seorang ibu atau ayah pun tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya, yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin (Pasal 25 ayat 1 dan 2).
Selain substansi mengenai kewarganegaraan itu sendiri, UU No 12 Tahun 2006 telah menghadirkan kembali suasana kebatinan para founding fathers ketika merumuskan UU tentang Ke-warganegaraan pertama kalinya, yaitu UU No 3 tahun 1946 sebagai salah satu syarat berdirinya negara RI ketika itu.
Suasana kebatinan founding fathers tidak lain adalah dihilangkannya istilah asli dalam pengertian siapa warga negara. Sebagaimana disadari, sebelum UU No 12 Tahun 2006 ini disahkan, istilah asli sudah bergeser pada konotasi diskriminasi, berbagai perilaku termasuk penyelenggara negara pun memberikan konotasi rasis.
Dengan penjelasan UU No 12 Tahun 2006 mengenai pengertian “orang-orang bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, maka roh UU ini tentu diharapkan telah sejalan dengan perjuangan para pendiri bangsa yang tidak berdasar atas ras-criterium, agama dan/atau kepercayaan.
Dari sisi substansi, UU Kewarganegaraan No 12 Tahun 2006 dirasakan cukup membanggakan, karena beberapa hal fundamental telah terwadahi. Seperti dikatakan Kepala Subdirektorat Pencatatan Pewarganegaraan, Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Direktorat Pencatatan Sipil, Depdagri, dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru, maka seluruh produk hukum lama tidak berlaku.
Kini bukti kewarganegaraan cukup dengan menunjukkan akta lahir, KTP, atau kartu keluarga (KK) karena di sana tertulis warga negara yang bersangkutan. Kalau ada kendala di lapangan, hal itu kemungkinan terjadi karena proses sosialisasi yang belum berjalan menyeluruh.
Namun, bagaimana implementasinya di lapangan? Ini adalah perubahan paradigma yang maha besar, karena mengubah kebiasaan “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” diganti dengan “kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit”.
Perubahan mental para oknum di lapangan itu terutama berkaitan dengan dokumen yang “beraroma” uang, seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang sampai sekarang tidak ada dasar hukumnya.
Salah seorang Dewan Pembina dari Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) yang sejak tahun 1980 membantu pelaksanaan pemberian SBKRI berdasarkan Instruksi Presiden No 2/1980 mengingatkan, bahwa UU Kewarganegaraan yang baru telah menjadikan semua warga negara sama dan setara sebagai sesama warga bangsa.
Oleh karena itu, kita harus mengoptimalkan kemampuan untuk membangun kemajuan bangsa ini. Kalau dulu “Kong Hwee” hanya untuk acara pesta-pesta, sudah saatnya diisi sebagai wadah komunikasi dan pembelajaran budaya kepada generasi muda. Mari kita bersatu membangun bangsa ini sebagaimana budaya leluhur yang selalu mengajarkan, seperti tata karma, menjaga kredibilitas, merendahkan diri, patuh terhadap orangtua, dan saling menghargai (saling menghormati).
Selain itu, untuk mengejar ketertinggalan berbagai aspek dari negara-negara tetangga, tidak lain kita harus menciptakan kualitas manusia yang unggul. Salah satu upayanya adalah meningkatkan kualitas pendidikan sebagai dasar atau landasan bagi kemajuan anak bangsa.***
Penulis adalah Sekretaris DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa