Perkawinan Itu Bisa Dicatatkan di Indonesia
Olah : Paschasius HOSTI Prasetyadji
SINAR HARAPAN : Senin, 20 Maret 2006
Beberapa hari lalu saya menghadiri slametan perkawinan anak seorang kawan yang kebetulan tokoh nasional di daerah Tanah Abang. Yang menarik kedua mempelai beda agama, dan pencatatan perkawinannya dilakukan di Hong Kong – salah satu dari banyak negara yang menganggap perkawinan beda agama bukan masalah.
Kenapa harus jauh-jauh ke Hong Kong hanya untuk mencatatkan perkawinan. Mas Hari menjawab, undang-undang kita harus direformasi dulu baru bisa kawin di Indonesia. Lho, kan ada peraturan Mahkamah Agung mas, kata saya.
Peraturan perundangan kita mengenai catatan sipil masih menggolongkan atas dasar etnik dan/atau agama, seperti seorang anak dari perkawinan sah di Kantor Urusan Agama (KUA), yang orang tuanya WNI “Asli” Non-Kristen, akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1920-751 jo 1927-564. Sementara seorang anak yang lahir dari perkawinan sah WNI “Asli” di Kantor Catatan Sipil, beragama Kristen akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1933-75 jo 1936-607.
Untuk kasus di atas, sekalipun sesama warga negara Indonesia “asli/pribumi” (bukan bermaksud mendikotomi, tapi hanya sekadar mempermudah pemahaman) karena penggolongan agama, apabila terjadi perceraian, berbeda pula pengadilan yang akan memutuskan, yaitu Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam, dan Pengadilan Biasa (Negeri) bagi yang beragama Kristen.
Mengenai masalah hukum waris yang akan diterapkan, dimungkinkan berbeda pula hukum warisnya terhadap anak yang bersangkutan – salah satu kemungkinan dapat mengikuti Waris Perdata Barat, karena dianggap menundukkan diri pada hukum perdata–Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) Pasal 3 dan Indonesische Staatsregeling (ISR) Pasal 4.
Hak-hak Sipil
Begitu pula penggolongan atas dasar etnik, seperti anak dari WNA etnik Tionghoa, akan dicatat dengan landasan hukum Stb. 1917-130 jo 1919-81.
Sama-sama etnik Tionghoa walaupun berbeda kewarganegaraan (WNA dan WNI), dalam pencatatan kelahiran landasan hukumnya sama. Tetapi tidak dalam hal hak mewaris, terutama terhadap kepemilikan benda tidak bergerak khususnya tanah seperti diatur dalam UU Pokok Agraria Pasal 21, dimana WNA tidak dapat memiliki hak milik.
Penggolongan atas dasar etnik berlaku pula bagi golongan Eropa. Landasan hukum WNI peranakan Eropa disamakan dengan WNA Eropa yang lahir di Indonesia, yaitu Stb. 1849-25. Dalam hal hak mewaris, tidak berbeda dengan etnik Tionghoa terutama dalam pemilikan benda tidak bergerak.
Sebagaimana orang percaya, bahwa lahir, hidup, kawin (cerai), mati, adalah kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sehingga setiap orang terlebih negara, perlu memberikan penghormatan dan pengakuan (perlindungan hukum) terhadap hak-hak sipil tersebut. Perlindungan hukum yang dapat diberikan tidak lain adalah kebebasan serta perlakuan yang sama dan adil.
Kebebasan kepada setiap orang tanpa memandang apapun yang melekat dalam dirinya (suku, agama, ras/etnik, dll). Apalagi kita sudah meratifikasi konvensi mengenai hak-hak sipil dan politik. Terhadap peristiwa bersejarah seperti yang dialami putra-putrinya mas Hari ini, sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Hong Kong hanya untuk kawin.
Sudah ada Petunjuk Mahkamah Agung No. MA/Pemb/0807/75 pada zamannya Prof Oemar Seno Adji. Di situ dijelaskan gamblang, ‘adalah wewenang pengadilan negeri sebagai peradilan umum untuk memeriksa: a. mengenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama Islam, yang berbeda agamanya dan berlainan kewarganegaraan; b. mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam PP tersebut sekalipun terhadap mereka yang beragama Islam’.
Apabila Petunjuk MA tersebut dipatuhi, mungkin 10.000 pasang pengantin Indonesia tak perlu antri kawin di Singapura, Australia, maupun Hong Kong, karena perkawinan itu bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil di Indonesia.
Penulis adalah Sekretaris DPP-FKKB (Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/20/opi02.html