Amir Syamsuddin dan Kebijakan Penegasan WNI

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

SINAR HARAPAN – 14.11.2011 14:07

Digesernya Patrialis Akbar dari jabatan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II membuka harapan baru bagi para pemukim peranakan asing, yang sesungguhnya warga negara Indonesia (WNI) namun tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan kependudukan untuk mendapatkan penegasan sebagai WNI.

Ketika Patrialis menjabat Menhukham, praktis kebijakan pemberian penegasan kewarganegaraan baru dilakukan sekali, itu pun dalam rangka 100 hari pemerintahan SBY-Boediono.

 

Sebagaimana diketahui, kebijakan penegasan kewarganegaraan Republik Indonesia adalah implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang tidak mengenal orang tanpa kewarganegaraan (stateless). Dengan begitu, kebijakan ini diterbitkan untuk melindungi setiap orang yang lahir dan berdiam di Indonesia. Sementara kondisi di lapangan, sebagai akibat kebijakan masa lalu, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 1959, di mana “semua” peranakan Tionghoa dianggap asing, akibatnya sampai hari ini masih ada ribuan pemukim yang tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan kependudukan yang tersebar di seluruh Tanah Air.

Perpres No 10 Tahun 1959
Perpres Nomor 10 Tahun 1959 adalah kebijakan pemerintah mengenai larangan bagi orang asing (warga negara RRT) untuk melakukan kegiatan perdagangan secara formal, terutama pada tingkat desa dan kecamatan. Dalam pelaksanaannya dipukul rata, semua orang Tionghoa dianggap asing dan diusir dari desa/kecamatan. Padahal di antara mereka banyak yang status kewarganegaraannya WNI tunggal, seperti mereka yang menjadi pegawai negeri, anggota TNI/Polri, pensiunan pegawai negeri atau TNI/Polri, pernah ikut pemilu, petani, dan lain-lain.

Kebijakan tersebut menimbulkan berbagai dampak, salah satunya terhadap perekonomian daerah, yakni kelangkaan distribusi sembako di desa-desa, terhentinya penjualan hasil bumi dari petani karena kebanyakan pedagang-pedagang kecil, atau distribusi ini dilakukan peranakan Tionghoa.

Di bidang politik terjadi gerakan rasialis anti-Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa yang sesungguhnya WNI akhirnya terusir ke berbagai negara, seperti Australia, Selandia Baru, Brasil, dan Kanada.

Di bidang hukum menyebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi etnis Tionghoa sekalipun ada perjanjian internasional secara bilateral antara RI-RRT. Diperkirakan sekitar 200.000 etnis Tionghoa terkonsentrasi di daerah kabupaten/kota madya ketika itu, dan proses pemulangan orang-orang yang tergusur ini hanya mencapai 40.000 orang. Karena pemerintah RRT tidak lagi mengirim kapal, akibatnya masih terdapat kira-kira 100.000 orang tetap berada di Indonesia tanpa ada kejelasan status kewarganegaraan mereka.

Seiring perjalanan waktu, dokumen exit permit only (EPO) yang mereka miliki oleh pemerintah diganti dengan dokumen keimigrasian dan diberi status asing, seperti dokumen SP (Surat Pendaftaran), STP (Surat Tanda Pelaporan), POA (Pendaftaran Orang Asing), dan KIMS (Keterangan Izin Menetap Sementara).

Oleh pemerintah Orde Baru, beberapa kebijakan telah dikeluarkan terutama ketika menjelang pemilihan umum (pemilu), seperti Kebijakan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1980 diterbitkan menjelang Pemilu 1982. Dalam kebijakan ini diterbitkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) kepada peranakan Tionghoa yang berada di lima wilayah (Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, dan Jabotabek).

 

Kemudian, menjelang Pemilu 1997 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1995 yang memberi kemudahan kepada pemohon naturalisasi. Persyaratan naturalisasi dipermudah dan biaya naturalisasi ditanggung sekelompok donatur di Jakarta. Kebijakan tersebut kemudian disusul dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 yang menegaskan bahwa “bagi warga negara Republik Indonesia yang telah memiliki kartu tanda penduduk, atau kartu keluarga, atau akta kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau akta kelahiran”.

Masih Tercecer
UU kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal stateless, namun terbitnya Perpres Nomor 10 Tahun 1959 mengakibatkan ribuan orang masih tercecer tanpa dokumen kewarganegaraan dan kependudukan.

Terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2006 yang ditindaklanjuti langkah konkret Hamid Awaludin, Menhukham ketika cukup revolusioner, yang artinya mengacu pada Pasal 4 huruf a UU ini, bahwa setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi WNI, maka sesungguhnya mereka adalah WNI, dan diterbitkan Keputusan Menhukham mengenai penegasan sebagai WNI.

Pada waktu Hamid dan Andi Mattalatta menjabat Menhukham, kebijakan penegasan ini telah “menyelamatkan” lebih dari 3.500 orang menjadi jelas status kewarganegaraan Indonesianya. Sementara kebijakan Patrialis sangat minim dan itu pun hanya di 100 hari kepemimpinannya di Kementerian Hukum dan HAM.

Kondisi sampai hari ini, berdasarkan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia; seperti Rusdi Badawi di Bagansiapiapi, Wang Suwandi di Jambi, Pauzi Thamrin di Palembang, Sumartono di Solo, Harjanto di Semarang, dan Yusman di Bangka; masih ada ribuan peranakan tanpa kepemilikan dokumen kewarganegaraan dan kependudukan. Akibatnya, mereka kesulitan jika akan membuka usaha, anak keturunan mereka sulit mendapatkan pendidikan (bersekolah), dan terjadi kemiskinan yang terstruktur.

Karena itu, dengan kepemimpinan baru duet Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana di Kementerian Hukum dan HAM, pekerjaan rumah mengenai penyelesaian status kewarganegaraan ini perlu mendapat prioritas, karena jutaan pasang mata tertuju pada kinerja mereka dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan ini.

———————-
Penulis adalah pemerhati masalah Tionghoa, penulis buku Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI.

 

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/amir-syamsuddin-dan-kebijakan-penegasan-wni/

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *