Empat Tahun Lahirnya UU Kewarganegaraan

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

SINAR HARAPAN – Rabu, 02 Juni 2010 jam: 13:19

Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai pengganti UU Kewarganegaraan yang lama, Nomor 62 tahun 1958, diharapkan dapat memberikan kelegaan bagi banyak orang. Kenapa?

Seperti diketahui, UU Nomor 62 Tahun 1958 terdapat kelemahan di sana-sini, seperti asas kewarganegaraan berdasarkan keturunan yang menjadikan warga keturunan asing mengalami problem mengenai status kewarganegaraannya. Begitu pula dalam perkawinan campuran, status hukum seorang istri sangat lemah, hanya menjadi subordinasi dari seorang suami, dan tidak adanya perlindungan terhadap status hukum anak-anak.

Sebagai contoh, di kota-kota besar di wilayah Indonesia yang banyak ekspatriat bermukim, telah banyak dilakukan perkawinan campuran antara perempuan warga negara Indonesia (WNI) dengan pria asing (WNA).

 

Implikasinya adalah: pertama, seorang ibu yang WNI memerlukan penetapan pengadilan untuk mendapatkan hak asuh bagi anaknya sendiri yang di bawah umur dan berstatus warga negara asing. Setelah mendapat penetapan pengadilan, maka diperlukan izin keimigrasian.

Kedua, izin keimigrasian (izin tinggal) yang diberikan kepada anak-anak berstatus warga negara asing tersebut hanya berlaku satu tahun. Oleh karena itu, itu harus terus diperpanjang dengan melapor ke instansi terkait (kepolisian dan berbagai tingkat administasi dari RT, RW, lurah, camat, bupati/wali kotamadya sampai ke Kantor Kependudukan Provinsi).
Ketiga, setelah selesai sekolah dan apabila ingin bekerja di Indonesia, si anak dari seorang ibu WNI yang berstatus warga negara asing (WNA) ini harus mendapatkan izin kerja dari Kementerian Tenaga Kerja. Untuk urusan ini menghabiskan waktu dan biaya yang amat sangat besar. Begitu pula sebaliknya, pada perempuan WNA yang menikah dengan pria WNI, mereka tidak memiliki hak asuh atas anak-anaknya.

Angin Segar

Diterapkannya asas kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak dari perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru ini, secara kejiwaan maupun dari sisi ekonomi, telah melegakan masyarakat.
Contohnya, Jean Edouard Leopold Mutia Albert Bernier, yang baru berumur lima tahun dua bulan. Kulitnya putih, hidungnya agak mancung, dan rambutnya kecoklat-coklatan. Ia hanya terdiam ketika menerima dua lembar kertas surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin ketika itu. Jean tidak tahu apa isi dan maksud surat yang sangat menentukan masa depannya itu.

Surat yang diberikan Hamid didampingi Slamet Effendy Yusuf, Murdaya Poo, dan Osbert Lyman dari Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) kepada Jean itu, dilakukan ketika dilangsungkannya sosialisasi UU Kewarganegaraan di Batam. Itu adalah surat penetapan kewarganegaraan anak tersebut sebagai warga negara Indonesia. Ibu kandung Jean, Dewi Chyntia, terharu melihat anaknya menerima surat itu. “Saya senang anak saya sudah dapat surat kewarganegaraan,” katanya.

Dengan surat yang ditandatangani Menteri Hamid Awaludin itu, Dewi bebas total dari belenggu birokrasi pengurusan perpanjangan paspor dan izin tinggal bagi anaknya tercinta. Jean adalah anak dari perkawinan campur antara Dewi Chyntia (WNI) dan Bernier Pascal Louis Raymond Ghislain (warga Negara Belgia). Jean lahir di Belgia tanggal 1 Desember 2001. Dengan bekal paspor dari Belgia dan visa kunjungan sosial budaya, Jean dapat tinggal di Indonesia.

Akan tetapi, menurut Neneng Nurtia, kakak kandung Dewi, visa itu hanya berlaku 60 hari. Setelah itu, visa harus diperpanjang di Kantor Imigrasi untuk periode yang tinggal satu bulan. “Jadi, setiap bulan harus mengurus perpanjangan. Uang, tenaga, dan waktu habis terbuang,” kata Neneng.
Setelah lima tahun, masa berlaku paspor pun habis. Untuk memperpanjang paspor melalui Kedutaan Besar Belgia di Jakarta diperlukan persetujuan atau surat dari Ghislain, ayah Jean. Persoalannya, Ghislain tidak menyetujui dan tidak memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun namanya.
Akibatnya, Jean yang masih memerlukan kasih sayang dan dekapan dari ibu kandung harus pergi dari Indonesia. “Orang imigrasi sampai datang ke rumah. Jean dianggap overstay. Orang imigrasi bilang, lagi tidur pun bisa diangkut,” kata Neneng. Nasib Jean, sebagai anak dari pernikahan orang tua yang berbeda kewarganegaraan, memang malang. Jean akhirnya harus dideportasi. Bersama ibunya, Dewi, Jean harus pergi ke negara ketiga, yaitu Malaysia, di Johor.

Saat berada di pengasingan, perjuangan untuk tetap tinggal di Indonesia terus dilakukan Dewi dan keluarganya yang lain. Ia mengurus hak mengasuh anak dari pengadilan negeri. Dengan bekal hak mengasuh anak itu, menurut Neneng, Jean dapat dibawa pulang ke Indonesia. Dengan hak itu pula, pihak Kedubes Belgia akhirnya mengeluarkan paspor baru. Sulit membayangkan bagaimana terpukulnya Dewi akibat tidak jelasnya status kewarganegaraan darah dagingnya itu. Anak yang dilahirkan, disusui, dan dibesarkannya terus diperlakukan sebagai orang asing dengan mengatasnamakan hukum (Kompas, 2/3/2007).

Penegasan WNI

Indonesia tidak mengenal orang tanpa kewarganegaraan. Oleh karena itu, untuk memberikan ketegasan status kewarganegaraan terhadap pemukim keturunan asing (stateless) yang tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan kependudukan, maka untuk menindaklanjuti UU Nomor 12 Tahun 2006 ini, Menteri Hukum dan HAM bekerja sama dengan Menteri Dalam Negeri melakukan pendataan terhadap warga stateless untuk diberikan penegasan status kewarganegaraan Indonesianya.

Pelaksanaannya cukup simpel, pemukim hanya mengisi formulir yang telah disediakan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), diketahui RT/RW dan lurah (sebagai pamong praja yang mengetahui betul masyarakatnya berdomisili), kemudian dikirim ke Disdukcapil untuk diberi pengantar dan diteruskan ke Kementerian Hukum dan HAM. Setelah diteliti oleh jajaran Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Depkumham, kemudian Menteri menerbitkan penegasan WNI kepada yang bersangkutan.

Surat Keputusan Penegasan pertama kali diberikan secara simbolik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara Imlek di Pekan Raya Jakarta, Kamis, 21 Februari 2008. Salah satu penerima penegasan tersebut, Lenah, merasa terpanggil untuk membantu saudara-saudara senasib lainnya, sehingga menjadi relawan IKI dan banyak membantu masyarakat di daerah Jakarta Utara.

Hingga saat ini, sosialisasi yang dilakukan Kemenkumham bersama IKI maupun proses penegasan masih terus berlangsung. Menurut data Kemenkumham, sampai dengan akhir April 2010 tercatat 4.534 orang stateless telah mendapat penegasan sebagai WNI.

Pertanyaannya adalah: berapa banyak orang yang dikategorikan stateless, dan sampai kapan kebijakan memberikan penegasan WNI akan menyelesaikan dengan tuntas?

 

Apabila menengok perjalanan sejarah, terjadinya stateless bermula dari adanya perjanjian dwi kewarganegaraan antara Pemerintah RI-RRC tahun 1955 yang pelaksanaannya dilakukan Januari 1960 – Januari 1962. Namun, tiga bulan menjelang pelaksanaan perjanjian ini, terbit Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 (istilah populer PP 10) mengenai larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran milik orang asing di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan II serta keresidenan, atau Peraturan Pedagang Kecil Eceran (PPKE).

Dalam praktik di lapangan, di beberapa daerah tertentu terjadi pengambilalihan usaha dari warga keturunan Tionghoa oleh camat yang didukung aparat di lapangan. Selain itu, terjadinya berbagai penafsiran dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, sehingga terjadi berbagai insiden dan kondisi tersebut menyebabkan sebagian warga Tionghoa (termasuk yang sudah WNI) meninggalkan tanah kelahirannya (Indonesia) dan terpaksa pulang ke negeri asal.

Namun, kepulangan warga Tionghoa ke RRC tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, karena pada pertengahan tahun 1960 Pemerintah RRC secara tidak resmi menghalangi mereka yang akan pulang ke daratan Tiongkok. Hal ini disebabkan kemampuan ekonomi RRC yang tidak dapat memberi akomodasi. Akibatnya, sekitar 100.000 warga Tionghoa dari berbagai tempat di Indonesia tidak jadi berangkat ke RRC. Akhirnya, mereka menjadi penduduk yang status kewarganegaraannya tidak jelas, sehingga meninggalkan persoalan yang harus diselesaikan hingga hari ini.

Empat tahun UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 telah berjalan. Diharapkan, kini tidak ada lagi penggolongan atas dasar apa pun terhadap sesama warga bangsa, semua diperlakukan secara sama dan memiliki kesetaraan yang sama dalam status hukum. Dulu, pejabat menanyakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)) untuk kelengkapan syarat administrasi, namun sekarang, diharapkan warga cukup menunjukkan akta kelahiran, KTP, dan kartu keluarga. Semoga saja!

Penulis adalah Sekretaris DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa.

 

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/empat-tahun-lahirnya-uu-kewarganegaraan/

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *