Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji
Tiga ribu Peraturan Daerah (Perda) “bermasalah” sudah dicabut Menteri Dalam Negeri, namun belum satupun Perda mengenai denda keterlambatan pengurusan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil turut dicabut.
Akta kelahiran merupakan dokumen dasar penduduk yang sangat penting, karena menjelaskan identitas diri dan status kewarganegaraan seseorang. Oleh sebab itu negara wajib memberikannya kepada setiap orang, karena ini merupakan perintah konstitusi, sebagaimana bunyi pasal 28D ayat 4 UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
UNICEF memprediksi, di Indonesia anak di bawah umur satu tahun yang memiliki akta kelahiran baru mencapai 51%. Dari pendampingan yang dilakukan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) di beberapa daerah sebagaimana dikatakan Sekretaris Umum IKI, Indradi Kusuma, saat ini masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Hal ini disebabkan antara lain: karena minimnya sosialisasi dari pemerintah, sehingga sebagian masyarakat menganggap kurang pentingnya akta kelahiran dibandingkan pemenuhan kebutuhan dasar lain; keengganan penduduk untuk mengurus akta kelahiran bagi anaknya juga akibat adanya pengenaan denda oleh Dinas Kependudukan & Catatan Sipil (Dukcapil) bagi yang terlambat mengurus.
Di banyak daerah seperti: Banten dan Jawa Barat, dan lain-lain, masih dijumpai Perda mengenai denda keterlambatan dalam pengurusan akta kelahiran yang seharusnya menjadi beban APBN/APBD. Demikian juga jarak kantor catatan sipil berimplikasi terhadap biaya dan waktu pengurusan akta. Hal-hal inilah yang menjadi hambatan masyarakat dalam mengurus akta kelahiran, terlebih lagi bagi keluarga yang tidak mampu dan atau mereka yang tinggal di daerah terpencil.
Sungguh memprihatinkan, di negara-negara Asean, Indonesia menempati peringkat dua dari bawah, di atas Timor Leste, terkait registrasi di bidang kependudukan terhadap anak-anak di bawah usia 5 tahun. Thailand 100%, Vietnam 95%, Filipina 80%, Laos 75%, Myanmar 72%, Indonesia 66%, dan Timor Leste 55%.
Dampak Buruk
Akibat tidak dimilikinya akta kelahiran ini, banyak anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan, maupun stigma sebagai “anak haram jadah atau anak hasil perselingkuhan” karena banyak anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Sementara dampak buruk bagi negara adalah, tidak mampunya Negara membuat perencanaan pembangunan dengan baik, seperti penyediaan sekolah, puskesmas, lahan pemukiman, dan pelayanan sosial lainnya. Yang lebih mengerikan lagi adalah terjadinya kemerosotan pendidikan, karena banyak anak-anak tidak bersekolah, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, adopsi illegal, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan sebagainya.
Satu hal yang perlu diantisipasi adalah minimnya akta kelahiran yang dimiliki oleh rakyat Indonesia yang berdiam di daerah-daerah perbatasan terutama yang berbatasan dengan Malaysia. Bisa-bisa mereka diberi akta kelahiran sebagai warga Negara Malaysia dan patok perbatasan-pun bisa bergeser. Kalau ini sudah terjadi, ini sungguh amat sangat mengerikan. Kenapa ?, sudah kayu kita dicuri, minyak kelapa sawit kita banyak diselundupkan ke wilayah Malaysia, warga Negara kita diakui, dan patok perbatasan-pun bisa bergeser semakin lebar.
Pencabutan Perda Bermasalah
Kekuasaan menerbitkan akta kelahiran saat ini berada di tangan para bupati/walikota melalui kepala dinas kependudukan & catatan sipil. Oleh karena itu, diperlukan itikad baik dan kerelaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kalangan masyarakat tidak mampu dan marginal ini. Dorongan organisasi kemasyarakatan seperti yang dilakukan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) dalam mengawal pelaksanaan di lapangan perlu didukung para penggiat civil society.
Perihal kewarganegaraan seseorang sebagaimana tercantum dalam akta kelahiran, adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 53 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya melalui penerbitan akta kelahiran.
Sementara itu, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Tanpa akta kelahiran, anak tidak punya identitas diri dan status kewarganegaraan (stateless). Dengan akta kelahiran setiap anak dapat (berhak) memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No 24/2013 (perubahan atas UU No 23/2006) menegaskan bahwa setiap penduduk berhak untuk memperoleh dokumen kependudukan dan mendapat pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Salah satu jenis dokumen kependudukan yang dimaksud adalah akta kelahiran. Walaupun UU ini tidak (belum) mencabut denda keterlambatan, namun UU menjamin bahwa pengurusan dokumen kependudukan dibebankan kepada Pemerintah.
Diskresi atau terobosan hukum yang diambil Prof DR Zudan Arif Fakrulloh, SH MH, Profesor muda – Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil yang menginisiasi terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2016 tanggal 24 Pebruari 2016 dan Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se Indonesia tanggal 12 Mei 2016, yang mempercepat penerbitan KTP-el dan akta kelahiran, perlu diapresiasi karena membuat lega masyarakat termasuk anak-anak yatim piatu yang selama ini dipinggirkan, untuk bisa mengurus akta kelahiran.
Namun demikian, terkait dengan Perda denda keterlambatan, maka tidak ada cara lain Menteri Dalam Negeri untuk segera meneliti dan mencabut Perda-Perda yang memberatkan masyarakat dalam pengurusan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil, dan secara berbarengan merevisi UU No 24/2013. ***
Prasetyadji: Peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia