Keluarga dan Pewartaan
oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji
Untuk mengingatkan kembali pentingnya keluarga, Gema Matius kali ini mengangkat tema Keluarga dan Pewartaan. Terkait tema ini saya ingin mengutip hasil survey Siti Nuryati yang dimuat di Sinar Harapan 23 Januari 2007.
Dari tahun 2001 – 2006 terjadi rata-rata 1,8 juta pernikahan dan 143.000 (8%) perceraian per tahun. Di tahun itu laju pertumbuhan penduduk meningkat, sementara pernikahan mengalami penurunan. Mungkinkah lembaga pernikahan tak lagi menarik?
Dulu, suami-isteri (khususnya isteri) akan lebih memilih sikap bertahan demi keutuhan keluarganya apapun masalah yang sedang dihadapi, namun sekarang begitu mudahnya sepasang suami isteri memilih bercerai untuk menyelesaian permasalahan keluarganya.
Kartun oleh Nicolas Prasetyo Utomo
Perubahan nilai-nilai sosial yang terjadi dalam masyarakat kita tampaknya membuat tingkat perceraian semangkin tinggi. Akibat kemampuan ekonomi yang meningkat di kalangan kaum hawa antara lain ikut mempengaruhi tingginya gugatan cerai yang diajukan isteri terhadap suami.
Data dari Ditjen Pembinaan Peradilan Agama (PPA) Mahkamah Agung ketika itu menggambarkan perceraian akibat adanya gugatan dari isteri lebih tinggi dari sebab lain. Dan ketika ditanya penyebab perceraian, jawabannya: karena selingkuh.
Keprihatinan
Berzinah atau berselingkuh menjadi keprihaninan Gereja, karena menyebabkan kehancuran masa depan anak-anak dan anggota keluarga itu sendiri. Anak akan diwarisi beban mental dan moral seumur hidupnya. Sementara orangtua yang selingkuh, akan kehilangan martabat di mata anak-anaknya.
Allah menciptakan alam semesta dan segala sesuatu baik adanya. Demikian diungkapkan dalam Kitab Kejadian tentang kisah penciptaan. Allah juga menciptakan manusia secitra atau serupa dengan Dia. Manusia menjadi ciptaan yang paling sempurna, mahkota dari segala ciptaan-Nya.
Kartun oleh Nicolas Prasetyo Utomo
Sebagai ciptaan-NYA yang paling sempurna, manusia dianugerahi akal budi dan kebebasan penuh. Dengan akal budinya manusia bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang.
Setelah bisa memilah-milah dengan akal budinya, manusia dengan kebebasan penuh dan atas kehendak bebasnya menentukan mana yang dipilih dan dilakukannya. Setiap pilihan, tindakan atau perbuatan pasti ada konsekuensinya. Jika kita berbuat baik, kita akan mendapatkan pahala. Tetapi kalau kita berbuat jahat atau dosa, kita akan memperoleh hukuman.
Dalam kotbah di bukit, Yesus mengajarkan satu prinsip moral yang radikal, yaitu tentang Perintah Allah yang keenam “Jangan berzinah”.
Bagi Yesus, berzinah atau berselingkuh bukan sekadar perbuatan atau tindakan hukum yang menyeleweng, melainkan menyangkut hati. Dari hati yang sesat inilah timbul perbuatan-perbuatan yang salah itu, karena hati adalah akar atau pusat dari kebaikan maupun kejahatan. Karena itu, kita perlu merawat, menata dan mengarahkan hati kita serta menjaga agar mata dan panca indera kita yang lain tidak kita salahgunakan.
Bahkan secara keras dan eksplisit Yesus bersabda : “Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka!” (Mat. 5: 29).
Yesus dengan tegas dan “radikal” mengajarkan agar tubuh kita yang diciptakan Tuhan dengan sempurna itu tidak kita seret ke dalam dosa.
Setiap pengikut dan murid Kristus dituntut untuk hidup suci atau murni, baik bagi mereka yang hidup selibat (para pastor, biarawan/i) maupun berkeluarga. Karena itu bagi imam atau mereka yang menjalani hidup bakti ada janji bahkan kaul untuk menjaga kesucian atau kemurnian.
Dan bagi yang hidup berkeluarga, perkawinan Kristiani dikuduskan menjadi satu sakramen, artinya suatu tanda pengakuan bahwa hubungan itu bukan sekedar hubungan cinta antara seorang lelaki dan seorang perempuan saja, melainkan suatu kesatuan kasih yang melambangkan kesatuan kesatuan Kristus dengan Gereja-Nya. Karena itu perkawinan Kristiani bersifat suci atau kudus, monogam, utuh dan tidak terceraikan, kecuali oleh kematian.
Hukum Karma
Kesatuan cinta dalam perkawinan suci itu bukan sekedar “kontrak” atau “janji” saja, melainkan suatu kesatuan utuh yang meliputi hidup seluruhnya, baik jiwa maupun badan.
Bagi kita yang berkeluarga, perikop Injil ini sangat tepat untuk mawas diri atas kehidupan berkeluarga kita masing-masing. Kita diingatkan oleh pitutur Jawa, bahwa “hukum karma itu berjalan di belakang langkah kita. ‘sopo sing nandur bakal ngundhuh’ – siapa yang menanam akan menuai. Berzinah atau berselingkuh berarti mengkhianati sakramen perkawinan – berarti pula mengkhianati Tuhan yang telah menyatukan dan “menjadi saksi” dalam janji perkawinan. Lhaaaa, kalau Tuhan saja dikhianati, apalagi kok cuman pasangan hidup entah itu suami atau isteri. Tetapi, dalam kenyataan hidup, orang yang gemar selingkuh kebanyakan hidupnya menderita, entah itu phisik munculnya berbagai penyakit atau psikis terganggunya kesehatan mental.
Menyadari dirinya lemah dan rapuh, Rasul Paulus mengakui bahwa tubuhnya ibarat “bejana tanah liat” yang gampang pecah. Pengakuan yang rendah hati ini untuk menyatakan bahwa kesulitan, ancaman dan bahaya yang menimpa dirinya selama ia mewartakan Kabar Gembira itu dan mampu ia atasi, bukan karena kehebatan dirinya melainkan karena kekuatan Roh yang berasal dari Allah bukan dari dirinya (lihat 2Kor. 4: 7).
Kita memang lemah dan rapuh seperti “bejana tanah liat”, oleh karena itu marilah kita libatkan Yesus dalam setiap tutur kata, sikap, dan perbuatan kita. Semoga kita dapat mengatasi godaan yang akan merusak kemurnian dan kesucian hati kita, termasuk juga godaan yang akan meretakkan perkawinan kita.
Kita kagum dan perlu belajar pada pasangan suami-isteri yang tetap berusaha hidup rukun meski di antara mereka ada yang membuat kecewa berat bahkan luka batin. Demikian juga kita kagum pada orangtua yang tetap mencintai anaknya yang sangat bandel, kurang ajar dan menyakitkan hati.
Paus Fransiskus dalam pesan tentang keluarga bulan lalu mengingat, bahwa di dalam keluarga, kita memiliki keluhan satu sama lain – kita kecewa dengan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan.
Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita, dan kelangsungan hidup spiritualitas. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan.
Pertanyaannya adalah : Bagaimana dengan kita sendiri? Mampukah kita memenuhi perintah Yesus itu – Jangan Berselingkuh atau Jangan Berzinah!? Maukah kita memberi maaf kepada pasangan kita?
Menurut sebuah penelitian: Berselingkuh atau Berzinah bukan penyelesaian suatu permasalahan keluarga. Hubungan dengan pasangan selingkuh tidak akan mungkin bisa bertahan lama. Karena itu, pertobatan dan saling memaafkan menjadi kunci keharmonisan dan berseminya kembali Cinta dalam keluarga. Oleh sebab itu: Jangan Berzinah !.
dimuat di Gema Matius, Juli-September 2017
Ada artikel yang bagus dari penulis Chiyoko. Kenapa Tuhan memberikan cobaan beruntun jika cobaan yang satu saja belum selesai. Silahkan melihat tulisannya disini: https://id.quora.com/Mengapa-Tuhan-memberi-masalah-lain-kalau-masalah-yang-satunya-belum-selesai/answer/Chiyoko
Terima kasih