Posted on

TANYA JAWAB MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN Bagian 5

Oleh: Prasetyadji

 

  1. Bagaimana Prosedur Mengurus Akta Perceraian ?

Jawab:

  1. Pemohon ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengambil blanko akta perceraian;
  2. Pemohon mendatangi loket pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan membawa berkas lengkap beserta dokumen aslinya;
  3. Petugas Loket pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerima dan meneliti berkas dan memberikan informasi kepada pemohon tentang masa berlaku, lama penyelesaian;
  4. Apabila berkas belum lengkap maka petugas mengembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi;
  5. Petugas Loket memberikan paraf pada berkas sebagai tanda sudah lengkap dan menyerahkan berkas kepada petugas register untuk diproses lebih lanjut;
  6. Petugas meneliti dan mencatat data pemohon dalam register Akta perceraian sesuai berkas;
  7. Petugas meminta tandatangan pelapor  pada register akta perceraian;
  8. Petugas meneruskan berkas dan register akta perceraian kepada kasi pencatatan perceraian untuk diverifikasi;
  9. Kasi pencatatan perceraian memeriksa kesesuaian register dengan data pada berkas pemohon;
  10. Operator komputer menginput data register akta perceraian ke dalam system komputer dengan teliti Setelah memastikan sudah diiput dengan benar, operator komputer mencetak kutipan akta perceraian pada kertas putih;
  11. Operator Komputer mencetak Kutipan akta perceraian pada kertas putih dan meneruskan register dan kutipan akta perceraian kepada kepala bidang pencatatan sipil;
  12. Kepala bidang pencatatan sipil memverifikasi dan meneliti kesesuain kutipan akta perceraian dengan berkas pemohon,dan memberikan paraf pada berkas yang telah sesuai;
  13. Petugas operator komputer mencetak pada blangko asli dan meneruskan kutipan akta perceraian, register, dan berkas kepada petugas di bidang pencatatan sipil untuk diteruskan kepada kepala dinas;
  14. Petugas dibidang pencatatan sipil meneruskan kutipan akta perceraian, register, dan berkas kepada kepala dinas;
  15. Kepala dinas meneliti dan menandatangani kutipan akta perceraian dan dokumen lainnya;
  16. Kepala dinas meneruskan register, berkas, dan dokumen lainnya kepada Petugas arsip dan meneruskan kutipan Akta Perceraian kepada Petugas Loket Pelayanan;
  17. Petugas arsip menyimpan berkas pada ruang arsip;
  18. Pemohon pada batas waktu proses yang telah ditentukan mendatangi Loket Pelayanan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
  19. Petugas Loket menyerahkan akta perceraian .

 

  1. Dasar Hukum Pencatatan Pengakuan Anak dan Pengesahan Anak.

Dasar Hukum:

Jawab:

  1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Undang-undang 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
  3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi Kependudukan;
  6. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tatacara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil;
  7. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Administrasi Kependudukan;
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pemberian Surat Keterangan Penganti Dokumen Pendudukan Bagi Pengungsi Dan Penduduk Korban Bencana Di Daerah;

 

28. Apa saja syarat-syarat yang diperlukan dalam Pengakuan anak ?

Jawab:

  1. Surat pengantar RT/RW dan diketahui Kepala Desa/Lurah;
  2. Surat Pengakuan Anak dari ayah biologis yang disetujui ibu kandung;
  3. Kutipan akta kelahiran;
  4. Fotocopy KK dan KTP ayah bioogis dan ibu kandung;
  5. Pengesahan anak;
  6. Surat pengantar dari RT/RW dan diketahui Kepala Desa/Lurah;
  7. Kutipan Akta Kelahiran;
  8. Fotocopy Kutipan Akta Perkawinan;
  9. Fotocopy KK;dan
  10. Fotocopy KTP pemohon;

 

29. Bagaimana Prosedur Mengurus Pengakuan Anak ?

Jawab:

  1. Pemohon ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengambil formulir pelaporan Pengakuan Anak /Pengesahan Anak;
  2. Pemohon mendatangi loket pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan membawa berkas lengkap beserta dokumen aslinya;
  3. Petugas Loket pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerima dan meneliti berkas dan memberikan informasi kepada pemohon tentang masa berlaku, lama penyelesaian;
  4. Apabila berkas belum lengkap maka petugas mengembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi;
  5. Petugas Loket memberikan paraf pada berkas sebagai tanda sudah lengkap dan menyerahkan berkas kepada kasi Pengakuan Anak /Pengesahan Anak nama untuk diverifikasi;
  6. Kasi pencatatan Pengakuan Anak/Pengesahan Anak memeriksa kelengkapan berkas dan memberikan para pada berkas yang sudah lengkap;
  7. Kasi Pengakuan Anak/Pengesahan Anak menyerahkan berkas permohonan kepada petugas register di bidang pencatatan sipil untuk dicatat dalam register;
  8. Petugas meneliti dan mencatat data pemohon dalam register Pengakuan Anak /Pengesahan Anak sesuai berkas dan meneruskan ke operator komputer;
  9. Operator komputer menginput data register akta Pengakuan Anak /Pengesahan Anak ke dalam system komputer dengan teliti Setelah memastikan sudah diiput dengan benar, operator komputer melakukan catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta catatan sipil;
  10. Operator Komputer mencetak akta dan Kutipan akta Pengakuan Anak/Pengesahan Anak kemudian meneruskan register dan kutipan akta Pengakuan Anak/Pengesahan Anak kepada kepala bidang pencatatan sipil;
  11. Kepala bidang pencatatan sipil memverifikasi dan meneliti kesesuain kutipan akta Pengakuan Anak/Pengesahan Anak dengan berkas pemohon,dan memberikan paraf pada berkas yang telah sesuai;
  12. Petugas operator komputer mencetak pada blangko asli dan meneruskan kutipan akta Pengakuan Anak/Pengesahan Anak, register, dan berkas lain kepada petugas di bidang pencatatan sipil untuk diparaf kepala bidang pencatatan sipil dan untuk diteruskan kepada Kepala Dinas;
  13. Kepala Dinas meneliti dan menandatangani Kutipan Akta Pengakuan Anak/Pengesahan Anak dan dokumen lainnya;
  14. Kepala Dinas meneruskan register, berkas, dan dokumen lainnya kepada Petugas arsip dan meneruskan kutipan Akta Pengakuan Anak /Pengesahan Anak kepada Petugas Loket Pelayanan;
  15. Petugas arsip menyimpan berkas pada ruang arsip;
  16. Pemohon pada batas waktu proses yang telah ditentukan mendatangi Loket Pelayanan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
  17. Petugas Loket menyerahkan akta Pengakuan Anak/Pengesahan Anak serta dokumen asli lainnya kepada pemohon.

 

  1. Apa yang Dimaksud Pencatatan Perubahan Nama ?

Contoh kasus di Kab Rembang

Jawab:

Dasar Hukumnya adalah:

  1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Undang-undang 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
  3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi Kependudukan;
  6. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tatacara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil;
  7. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Administrasi Kependudukan;
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pemberian Surat Keterangan Penganti Dokumen Pendudukan Bagi Pengungsi Dan Penduduk Korban Bencana Di Daerah;
  9. Peraturan Daerah Kabupaten Tegal Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
  10. Peraturan Daerah Kabupaten Tegal Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah;
  11. Peraturan Bupati Tegal Nomor 24 Tahun 2010 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil;

 

  1. Apa Persyaratan yang diperlukan dalam Pencatatan Perubahan Nama ?

Jawab:

  1. Salinan penetapan perubahan nama dari pengadilan atau instansi yang berwenang;
  2. Kutipan Akta kelahiran (asli dan fotocopy);
  3. Fotocopy KK dan KTP yang masih berlaku;
  4. Surat kuasa pengisian biodata bermaterai Rp 6.000,00 bagi yang diwakilkan, dan Fotocopy KTP penerima kuasa;

 

  1. Bagaimana Prosedur dalam Pencatatan Perubahan Nama ?

Jawab:

  1. Pemohon ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengambil blanko perubahan nama;
  2. Pemohon mendatangi loket pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan membawa berkas lengkap beserta dokumen aslinya;
  3. Petugas Loket pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerima dan meneliti berkas dan memberikan informasi kepada pemohon tentang masa berlaku, lama penyelesaian, dan besarnya retribusi yang harus dibayar pemohon;
  4. Apabila berkas belum lengkap maka petugas mengembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi;
  5. Petugas Loket memberikan paraf pada berkas sebagai tanda sudah lengkap dan menyerahkan berkas kepada kasi pencatatan perubahan nama untuk diverifikasi;
  6. Kasi pencatatan perubahan nama memeriksa kelengkapan berkas dan memberikan para pada berkas yang sudah lengkap;
  7. Kasi pencatatan perubahan nama menyerahkan berkas permohonan kepada petugas register di bidang pencatatan sipil untuk dicatat dalam register;
  8. Petugas meneliti dan mencatat data pemohon dalam register perubahan nama sesuai berkas;
  9. Petugas meneruskan berkas dan register akta perubahan nama kepada kasir;
  10. Kasir menerima uang dan menerbitkan kwitansi serta memberi nomor pada berkas permohonan sesuai nomor kwitansi;
  11. Kasir menyerahkan berkas permohonan kepada petugas operator computer dinas untuk diproses lebih lanjut;
  12. Operator komputer menginput data register akta perubahan nama ke dalam system komputer dengan teliti Setelah memastikan sudah diiput dengan benar, operator komputer melakukan catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta catatan sipil;
  13. Operator Komputer mencetak akta dan Kutipan akta kemudian meneruskan register dan kutipan akta catatan sipil kepada kepala bidang pencatatan sipil;
  14. Kepala bidang pencatatan sipil memverifikasi dan meneliti kesesuain kutipan akta catatan sipil dengan berkas pemohon,dan memberikan paraf pada berkas yang telah sesuai;
  15. Petugas operator komputer mencetak pada blangko asli dan meneruskan kutipan akta perubahan nama, register, dan berkas lain kepada petugas di bidang pencatatan sipil untuk diparaf kepala bidang pencatatan sipil dan diteruskan kepada sekretaris dinas untuk diparaf;
  16. Staf tata usaha meneruskan kutipan akta peruabahan nama, register, dan berkas lain yang telah diparaf sekretaris dinas kepada kepala dinas;
  17. Kepala dinas meneliti dan menandatangani kutipan akta perubahan nama dan dokumen lainnya;
  18. Kepala dinas meneruskan register, berkas, dan dokumen lainnya kepada Petugas arsip dan meneruskan kutipan Akta Perubahan nama kepada Petugas Loket Pelayanan;
  19. Petugas arsip menyimpan berkas pada ruang arsip;
  20. Pemohon pada batas waktu proses yang telah ditentukan mendatangi Loket Pelayanan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
  21. Pemohon dengan menunjukkan tanda terima pembayaran menyerahkan kepada Petugas Loket;
  22. Petugas Loket menyerahkan akta perubahan nama serta dokumen asli lainnya kepada pemohon.

 

19042021

Posted on

TANYA JAWAB MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN Bagian 4

Oleh: Prasetyadji

 

  1. Apa persyaratan pembuatan akta kelahiran, untuk contoh pemegang KTP dan KK Kota Tangerang?

Jawab:

  1. Fc KTP orangtua ybs
  2. Fc KTP Saksi
  3. Fc KK terbaru (Nama masuk dalam KK dan mempunyai NIK)
  1. Fc Surat Nikah orangtua atau akta perkawinan orangtua dilegalisir
  1. Surat keterangan lahir dari RS/Bidan/Puskesmas
  2. Surat Kuasa (bila dikuasakan)

 

  1. Apa saja syarat Pembuatan KIA ?

Jawab:

  1. Fotokopi Kartu Keluarga (KK).
  2. Akta kelahiran asli (untuk ditunjukkan) dan fotokopi.
  3. KTP asli orangtua/wali.
  4. Khusus anak diatas 5 tahun harus melampirkan foto ukuran 2×3 sebanyak 2 lembar latar biru (untuk tahun kelahiran genap) atau latar merah (untuk tahun kelahiran ganjil).

 

  1. Apa Manfaat Kartu Identitas Anak (KIA)?

Jawab:

Selain sebagai identitas diri selain akte kelahiran dan kartu keluarga yang formatnya besar, KIA bermanfaat untuk mengakses fasilitas pelayanan public seperti rumah sakit, Bank, dan kantor Imigrasi.

Disamping itu, manfaat KIA yang oleh kerjasama pemerintah daerah setempat dengan dunia usaha, maka biasanya untuk mendapat potongan harga di toko buku, minimarket maupun tempat wisata yang bekerjasama dengan pemerintah.

 

  1. Apa saja Persyaratan membuat akta kematian ?

Jawab:

  1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Almarhum/Almarhumah.
  2. Fotokopi KTP pelapor.
  3. Fotokopi KTP saksi.
  4. Fotokopi Akta Kelahiran/Perkawinan
  5. Surat Keterangan Dari Rumah Sakit.
  6. Surat Pengantar Kematian dari Kelurahan. Jika yang meninggal dunia sebagai Kepala Keluarga, harus dipisah Kartu Keluarga terlebih dahulu di Kecamatan.

 

  1. Apa Manfaat Akta Kematian ?

Jawab:

  1. Penetapan status janda atau duda (terutama bagi pegawai negeri) diperlukan sebagai syarat menikah lagi.
  1. Untuk persyaratan pengurusan pembagian waris (Peralihan Hak Atas Tanah), baik bagi istri atau suami maupun anak.
  1. Diperlukan untuk mengurus pensiun bagi ahli warisnya.
  2. Persyaratan untuk mengurus uang duka, tunjangan kecelakaan, Taspen, asuransi, perbankan, dan pensiun.
  1. Mencegah data almarhum disalahgunakan dan memastikan keakuratan data penduduk.

 

  1. Apa Pentingnya akta kelahiran bagi anak anak yatim piatu ?

Jawab:

Anak-anak yatim piatu dijamin oleh:

  1. Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa, “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Dengan jaminan UUD 1945, maka anak-anak terlantar yang tinggal di Panti Asuhan yang tidak diketahui orang tuanya, Pemerintah wajib memberikan dokumen jatidiri yaitu akta kelahiran sebagai Hak Dasar.
  1. Pasal 53 UU No 39/1999 tentang HAM, yang menegaskan bahwa, “setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan”.
  1. Pasal 5 UU No 23/2002 Jo UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa, “setiap anak berhak atas suatu Nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”.

 

  1. Apa saja Persyaratan Mengurus Akta Kelahiran bagi Anak Panti Asuhan?

Jawab:

Contoh di Dinas Dukcapil Kota Tangerang Selatan, persyaratannya adalah:

  1. Akta Pendirian Yayasan / Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga;
  1. Ijin Domisili Yayasan;
  2. NPWP Yayasan;
  3. Surat Tanda Daftar Yayasan (Dinas Sosial);
  4. KK & KTP orang yang ditunjuk, tinggal di Panti (masuk lokasi Panti);
  1. Surat Kuasa Yayasan kepada Kepala KK yang ditunjuk;
  2. KTP Ketua Yayasan, Sekretaris Yayasan, & Bendahara Yayasan;
  1. Daftar Anak;
  2. Biodata anak Panti yang menyebutkan Kronologis Sejarah setiap Anak, dari saat penerimaan, disertai Photo, ditanda-tangani Ketua Yayasan dan Kepala Panti;
  1. Photocopy Rapor Anak (SD, SMP, SMA) – kalau ada;

 

  1. Apa saja Persyaratan untuk mengurus akta perkawinan ?

Jawab:

  1. Foto Copy Surat Nikah Agama (Gereja , Vihara , Makin) Yang Sudah Dilegalisir
  1. Foto Copy  KTP ( Suami-Isteri)
  2. Foto Copy Kartu Keluarga (SIAK)
  3. Foto Copy Akta Kelahiran  ( Suami-Isteri)
  4. Surat Keterangan Lurah Setempat Asli atau  Model N1,N2,N4
  1. Surat Ijin Atasan/ Komandan Bagi TNI dan Polri
  2. Pas Photo Gandeng Berwarna Uk 6×4  = 4 Lembar
  3. Foto Copy Akta Kelahiran Anak Bagi Ybs Sudah Memiliki Anak  2 Rangkap
  1. 2 (DUA) Orang Saksi  Yang Sudah Dewasa   +   Foto Copy KTP dan  materai Rp. 6.000.-

Bagi orang asing melampirkan:

  1. IC dan Pasport
  2. Surat Keterangan Status dari Negara Asal
  3. Rekomendasi dari Kedutaan / Konsulat

 

  1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan yg ditetapkan oleh Pengadilan?

Jawab:

Perkawinan yg dilakukan antar umat yang berbeda agama, dan pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan

 

 

  1. Apa persyaratan yang mesti dibawa dalam pencatatan perceraian ?

Jawab:

  1. Kutipan Akta Perkawinan yang bersangkutan
  2. Salinan Putusan Pengadilan Negeri mengenai perceraian, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
  3. Formulir Pencatatan Perceraian
  4. Fotokopi KK dan KTP-el yang bersangkutan
  5. Surat kuasa di atas materai cukup bagi yang dikuasakan, dilampiri fotokopi KTP-el penerima kuasa
  6. Pencatatan perceraian GRATIS, selama belum melampaui batas waktu pelaporan (60 hari)
  7. Pencatatan perceraian yang melampaui batas waktu60 hari sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, dikenakan administrasi keterlambatan sebesar Rp. 000,-

Untuk orang asing, ditambah :

  1. Fotokopi Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) suami atau istri pemegang Izin Tinggal Terbatas (ITAS)
  1. Fotokopi paspor suami atau istri (dilegalisir)

 

 

Posted on

TANYA JAWAB MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN Bagian 3

Oleh: Prasetyadji

 

  1. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 1946 dan sejalan dengan teori terbentuknya negara harus memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu adanya pemerintahan, wilayah, dan rakyat atau warga negara. Maka sejak 17 Agustus 1945 setiap orang yang berada di daerah negara Indonesia beserta keturunan-keturunannya adalah warga negara Indonesia.

Secara material dan faktual, anggota BPUPKI dan PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia adalah orang-orang bangsa    Indonesia dan bangsa-bangsa lain, seperti: Baswedan, Yap Tjwan Bing, Lim Khoen Hian, Dahler, Supomo, dan lain-lain, yang secara yuridis formal dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 3 tahun 1946. Dengan demikian, orang-orang yang telah berada di Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (beserta keturunan-keturunannya), adalah warga negara Indonesia, yaitu:

  • orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia;
  • orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas akan tetapi turunan dari seorang dari golongan itu, yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, dan orang bukan turunan seorang dari golongan termaksud, yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir didalam daerah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun, atau telah kawin, kecuali jika ia menyatakan keberatan menjadi Warga Negara Indonesia karena ia adalah warga negara Negara lain;
  • orang yang mendapat kewargaan Negara Indonesia dengan cara naturalisasi;
  • anak yang sah, disahkan atau diakui dengan cara yang sah oleh bapanya, yang pada waktu lahirnya bapanya mempunyai kewargaan Negara Indonesia;
  • anak yang lahir dalam 300 hari setelah bapanya, yang mempunyai kewargaan Negara Indonesia, meninggal dunia;
  • anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada waktu lahirnya mempunyai kewargaan Negara Indonesia.

 

  1. Ada pendapat bahwa Peraturan Presiden No 10/1959 menjadi awal permasalahan warga Tionghoa di Indonesia. Bagaimana penjelasannya ?

Jawab:

Untuk meluruskan kembali masalah kewarganegaraan sesuai dengan semangat para the Founding Fathers ketika memproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka perlu diadakan kritik terhadap pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun  1959 (Perpres Nomor 10 tahun 1959) yang diterbitkan pada hari Senin Kliwon, tanggal 16 Nopember 1959. Perpres Nomor 10 tahun 1959 itu bagaikan ‘malapetaka’ bagi peranakan Tionghoa jika kita menggunakan kebenaran komparatif Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 tentang Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 1959 sebagai pelaksanaan perjanjian bilateral Pemerintah RI-RRC.

Dengan pendekatan komparatif ini akan terlihat jelas adanya inkonsistensi kebijakan pemerintah, baik terhadap kesepakatan bilateral Pemerintah RI-RRC  maupun penegakan hukum atau dengan pendekatan kajian lain telah terjadi penyimpangan dari kesepakatan Pemerintah RI-RRC dalam penegakan hukum.

Mengenai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 antara lain berisi peraturan tentang larangan bagi orang asing untuk melakukan kegiatan perdagangan secara formal, terutama pada tingkat pedesaan/kecamatan.

Sekalipun dalam ketentuan ada jaminan tidak akan terjadi kericuhan, namun dalam pelaksanaannya kemudian, pemerintah tidak mampu menjamin ketertiban. Hiruk pikuk dan kesemrawutan dalam pelaksanaan Perpres Nomor 10 tahun 1959 itu menyebabkan ± 140.000 kepala keluarga warga etnik Tionghoa telah tergusur dari pemukimannya di kecamatan-kecamatan atau desa-desa, mereka dipaksa  mengungsi ke daerah Tingkat II Kabupaten.

 

 

  1. Di awal Pemerintahan Soekarno-Hatta, ada beberapa tokoh Tionghoa yang duduk di pemerintahan, siapa saja mereka ?

Jawab:

Mereka antara lain adalah :

  • Ong Eng Die, sebagai Menteri Muda Keuangan dalam kabinet ke-5, yaitu Kabinet Sjarifuddin Pertama; masa bakti 3 Juli – 11 November 1947;

Juga sebagai Menteri Muda Keuangan dalam kabinet ke-6, yaitu Kabinet Sjarifuddin Kedua; masa bakti 11 November 1947 – 29 Januari 1948;

Ong Eng Die menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet ke-16, yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo I; masa bakti 30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955;

  • Mohammad Hasan, sebagai Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan dalam kabinet ke-23, yaitu Kabinet Kerja IV; masa bakti 13 November 1963 – 27 Agustus 1964;
    • Oei Tjoe Tat, sebagai Menteri Negara Pembantu Presiden dalam kabinet ke-23, yaitu Kabinet Kerja IV; masa bakti 13 November 1963 – 27 Agustus 1964;

Juga sebagai Menteri Negara yang diperbantukan pada Presidium dalam kabinet ke-24, yaitu Kabinet Dwikora I; masa bakti 27 Agustus 1964 – 22 Pebruari 1966;

Oei Tjoe Tat juga menjadi Menteri Negara dalam kabinet ke-25, yaitu Kabinet Dwikora II; masa bakti 22 Pebruari – 28 Maret 1966;

  • David Chen Chung, sebagai Menteri Cipta Karya dan Konstruksi dalam kabinet ke-24, yaitu Kabinet Dwikora I; masa bakti 27 Agustus 1964 – 22 Pebruari 1966;

Juga sebagai  Menteri Cipta Karya dan Konstruksi dalam kabinet ke-25, yaitu Kabinet Dwikora II; masa bakti 24 Pebruari – 28 Maret 1966;

  • Lie Kiat Teng (Mohammad Ali), sebagai Menteri Kesehatan dalam kabinet ke-16, yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo I, menggantikan pejabat sementara FL Tobing; masa bakti 30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955;
  • Tan Po Gwan, sebagai Menteri Negara Urusan Tionghoa dalam kabinet ke-4, yaitu Kabinet Sjahrir Ketiga; masa bakti 2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947;

 

  1. Siapa saja tokoh Tionghoa dalam bidang diplomatik ketika itu ?

Jawab:

Peran politik warga Tionghoa bukan hanya dalam kabinet, namun dalam diplomatik politis, terdapat nama seperti: Dr Tjoa Siek In, yang ditunjuk pemerintah Indonesia dalam perundingan Renville.

Begitu pula Dr Sim Kie Ay yang oleh pemerintah ditunjuk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil dari KMB adalah dibentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

 

  1. Siapa saja tokoh Tionghoa dalam masa Demokrasi Parlementer ?

Jawab:

Pada masa Demokrasi Parlementer, tahun 1950 – 1959, minimal ada delapan orang peranakan Tionghoa menjadi anggota legislatif, yaitu: Tan Po Gwan, Tjoa Sie Hwie, Tjung Tin Jan, Tan Boen Aan, Teng Tjin Leng, Siauw Giok Tjhan, Tjoeng Lin Sen (diganti Tio Kang Soen), dan Yap Tjwan Bing (diganti Tony Wen atau Boen Kim To).

 

 

Posted on

TANYA JAWAB MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN Bagian 2

Oleh: Prasetyadji

 

  1. Sejak kapan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk?

Jawab:

KNIP dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Pebruari 1950. KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dan berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Melalui KMB, Kerajaan Belanda bersedia menyerahkan  kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan gabungan antara RI dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).

Dengan diratifikasinya hasil-hasil KMB oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dalam sidang tanggal 1-15 Desember 1949, terbentuklah RIS. Indonesia yang berbentuk federasi ini, terdiri atas 16 negara bagian yang masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Rapat KNIP juga memilih Soekarno sebagai presiden, dan Hatta sebagai Perdana Menteri RIS.

Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS tersebut, tertuang dalam piagam Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara (PPPWN).

 

  1. Pembatalan perjanjian KMB tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 1956. Apa latar belakang pembatalan  tersebut ?

Jawab:

Latar belakang pembatalan  tersebut cukup jelas, antara lain:

(a)       Kepentingan negara dan rakyat sangat dirugikan.

(b)       Isi dan makna perjanjian tidak dapat dipertanggung-jawabkan                     lagi karena  Irian Barat sebagai bagian mutlak dari wilayah                           Republik Indonesia  masih diduduki oleh Belanda.

(c)       Dalam beberapa perundingan Indonesia dan Belanda selalu

berakhir kandas karena ketidak-sediaan dari pemerintah                     Belanda.

(d)       Tidak adil bahwa dari pihak Pemerintah Indonesia terus-                             menerus diminta kesediaan untuk mengadakan perundingan.

 Dengan latar belakang itu, pembatalan perjanjian secara eksplisit bersifat unilateral sesuai dengan arti dan makna hukum internasional.

 

  1. Setelah adanya pembatalan Konferensi Meja Bundar tahun 1956, ada pertanyaan menyangkut pengaturan mengenai kewarganegaraan, yaitu bagi wilayah bekas Republik Indonesia, tentu berlaku kembali Undang-undang yang mendahuluinya (yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947). Namun bagi wilayah bekas negara-negara federal apakah tetap berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1950 tentang Menjalankan hak memilih dan hak menolak kebangsaan Indonesia bagi orang yang menjelang waktu penyerahan kedaulatan adalah kawula negara Kerajaan Belanda? Atau menundukkan (dengan menunjuk) pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947 ?

Pertanyaan itu muncul, karena berimplikasi terhadap status kewarganegaraan anak keturunannya. Contoh kasus penanggalan kewarganegaraan Republik Indonesia dilakukan oleh Liem Koen Hian salah seorang anggota BPUPKI, yang akhirnya menanggalkan kewarganegaraan   Indonesianya menjadi warga negara asing.

Tercatat bahwa:

          Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin tahun 1897;

Tahun 1932 ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI);

Pada tahun 1945, ketika pemerintah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta, Liem dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Pada 1947, Liem ikut serta sebagai salah seorang anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville.

Pada masa kemerdekaan 17 Agustus 1945 orang-orang “keturunan” diberi masa opsi untuk memilih kewarganegaraan (Indonesia atau asing) sampai dengan 17 Agustus 1948.

Pada tahun 1951 Liem yang mempunyai sebuah apotik di kawasan Tanah Abang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah semasa Kabinet Soekiman selama beberapa waktu atas    tuduhan menjadi simpatisan kiri. Kejadian ini tentu sangat mengecewakan Liem Koen Hian.

Bahwa sesuai perjanjian Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 27 Desember 1951 orang-orang “keturunan” ini diberikan kembali masa opsi untuk memilih kewarganegaraan (Indonesia atau asing).

Pada masa opsi ini Liem Koen Hian memutuskan untuk menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya. Ia menjadi warga negara asing di negara yang telah puluhan tahun diperjuangkannya

Jawab:

Apabila dengan dibatalkannya perjanjian KMB dan masalah kewarganegaraan kembali lagi ke UU No 3 tahun 1946, maka Liem Koen Hian beserta keturunannya seharusnya bisa menjadi warga negara Indonesia sebagaimana berlaku Undang-Undang Kewarganegaraan yang mendahuluinya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947.

 

  1. Bagaimana rintisan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRC ?

Jawab:

Pada tahun 1950, Pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan RRT. Lima tahun setelah dibuka hubungan diplomatik tersebut, RI dan RRT mulai membicarakan masalah dwi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Karena RRT menganut asas ius sanguinis, sedangkan RI menganut asas ius soli, maka ada orang-orang yang diakui secara hubungan darah sebagai warga negara RRT dan dari sisi tanah kelahiran sebagai warga negara RI. Perlu diingat bahwa pembahasan antara RI dan RRT mengenai kedua prinsip ini terjadi pada masa ketika RI juga masih terikat perjanjian bilateral dengan Belanda melalui KMB, yang kemudian dibatalkan pada tahun 1956.

Usaha membereskan soal status kewarganegaraan ganda ini sudah dirintis sejak tahun 1954 oleh dutabesar RI di Tiongkok Arnold Mononutu waktu itu. Pembicaraan-pembicaraan kemudian dimatangkan dalam draft naskah perjanjian yang didiskusikan di Beijing.

Tanggal 22 April 1955 di tengah-tengah berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika, Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ditandatangani oleh kedua menteri luar negeri, Mr. Sunaryo dari pihak Republik Indonesia dan Chou En-Lai dari Republik Rakyat Tiongkok. Perjanjian ini memberlakukan sistem aktif bagi warga Tionghoa yang sudah memegang kewarganegaraan Indonesia, yaitu mereka yang lahir di Indonesia sebelum 27 Desember 1949 yang sebelumnya tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. Kepada mereka diberi jangka waktu dua-tahun untuk memilih dimulai sejak adanya pertukaran ratifikasi perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut dengan memberi pernyataan di pengadilan.

 

  1. Bagaimana isi perjanjian dwi-kewarganegaraan RI-RRC ?

Jawab:

Disepakatinya ada warga negara Indonesia Tunggal.

Yang dianggap sudah sebagai warga negara Indonesia tunggal, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 menegaskan bahwa Warganegara Republik Indonesia keturunan Tionghoa yang dianggap telah melepaskan kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok-nya, sebagaimana dimaksud dalam angka 2 Penukaran Nota antara Perdana Menteri Republik Indonesia dan Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok tertanggal Peking, 3 Juni 1955 ialah mereka yang pada waktu Perjanjian mulai berlaku :

  1. sudah pernah bersumpah atau berjanji setia kepada Republik Indonesia sebagai anggauta sesuatu badan resmi;
  2. anggauta Angkatan Perang Republik Indonesia atau telah dihentikan dengan hormat sebagai demikian;
  3. anggauta Polisi Republik Indonesia atau telah dihentikan dengan hormat sebagai demikian;
  4. seorang veteran;
  5. pegawai negeri atau telah dihentikan sebagai pegawai negeri Republik Indonesia dengan berhak menerima pensiun;
  6. pegawai daerah otonom atau telah dihentikan sebagai pegawai daerah otonom Republik Indonesia dengan berhak menerima pensiun;
  7. sudah lebih dari satu kali mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam lapangan politik, dan setelah mewakili Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mewakili Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok;
  8. sudah lebih dari satu kali mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam lapangan ekonomi, dan setelah mewakili Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mewakili Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok;
  9. sudah lebih dari satu kali newakili Republik Indonesia dalam lapangan kebudayaan atau keolahragaan yang bersifat perlombaan antar-negara, dan setelah mewakili Repiblik Indonesia, tidak pernah mewakili Republik Rakyat Tiongkok;
  10. petani, yang menurut pendapat Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Menteri Agraria cara hidupnya dan pergaulannya dengan masyarakat Indonesia aseli menunjukkan bahwa ia sebetulnya anak pribumi;

 

Posted on

TANYA JAWAB MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN Bagian 1

Oleh: Prasetyadji

  1. Unsur apa saja dalam pembentukan suatu Negara ?

Jawab:

Adanya unsur rakyat atau warga negara pada suatu negara adalah mutlak untuk melengkapi unsur

pemerintahan dan wilayah, dan  baru akan disebut sebagai negara. Ini pendapat klasik adanya atau

terbentuknya negara.

  1. Apa keunikan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946, tanggal 10 April 1946, yang mengatur tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia, yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947, tanggal 27 Pebruari 1947, tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia  antara lain perubahan tersebut adalah  menyatakan atau merubah bahwa :  “Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari 17 Agustus 1945. ?

Jawab:

        Keunikan pertama : bahwa  Undang-Undang berlaku surut masih bisa difahami (sekalipun masih ada silang                pendapat pro dan kontra), namun khusus mengenai Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 yang merubah                    Undang-Undang No. 3 tahun 1946, menyatakan  mengenai  berlaku sejak 17 Agustus 1945, adalah suatu  yang             “unik” karena seperti kita ketahui biasanya  suatu Undang-Undang adalah melaksanakan Undang Undang                    Dasar atau biasa disebut sebagai Undang-Undang Organik, dalam hal ini Undang-Undang Dasar sendiri baru             di-sah-kan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, berlaku sebelum ada                 Undang-Undang Dasar.

Dan ini menegaskan pernyataan Soetardjo bahwa “Menurut aturan yang berlaku belum ada juga ketentuan                 tentang warga negara dan kita, orang Indonesia, semua Nederlandsch onderdaan”.

       Keunikan kedua : Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946, yang berlaku sejak 17 Agustus 1945 dan seorang yang           lahir dan bertempat kedudukan  dan berdiam selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir           di dalam daerah Negara Indonesia, yang telah berusia  21 tahun atau telah kawin. Maka yang bersangkutan                   adalah Warga Negara Indonesia.

  1. Mengapa Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 merupakan kesatuan yang tidak terpisah dengan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ?

Jawab:

  • Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 berlaku surut sejak 17 Agustus 1945 (Undang-Undang Dasar disahkan tanggal 18 Agustus 1945);
  • Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 mengatur Hak Repudiatie dan memperpanjang hak repudiatie sampai dengan tanggal 17 Agustus 1948. Hal ini sesuai dengan pembicaraan dalam BPUPKI bahwa bagi peranakan Tionghoa, Arab, India, Belanda, dll diberikan kesempatan untuk menolak menjadi warga negara Indonesia (Soepomo, Yamin, Liem Koen Hian, Baswedan, Dahler, dll).
  • Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 melalui Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 1971 diberlakukan di Irian Jaya dalam menentukan kewarganegaraan rakyat Papua, padahal Undang-Undang Kewarganegaraan yang berlaku ketika itu adalah Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958.
  1. Bagaimana mengenai warga Negara antara yang diatur dalam UU No 3/1946 dengan UU No 12/2006 ?

Jawab:

Mengenai siapa warga negara Indonesia, satu hal yang patut dicatat dari penjelasan Undang-undang Nomor 3            tahun 1946 apabila disandingkan dengan Undang-ndang Nomor 12 tahun 2006 mengenai orang-orang bangsa            Indonesia asli, adalah :

UU No 3 tahun 1946 UU No 12 tahun 2006
Bahagian jang lain soedah membikin pertalian dengan golongan Indonesia asli, karena telah hidoep sebegitoe lama didalam masjarakat Indonesia sehingga kita boleh mendoega bahwa mereka menaroh mi’nat kepada Negara Indonesia, maka. dipersamakan dengan perhoeboengan-hoekoem orang-orang asli, sehingga mereka dengan sendirinja menjadi Warga Negara Indonesia, tidak tergantoeng pada anggapan mereka sendiri. Orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.

 

(dibandingkan dengan UU No 3 tahun 1946 maupun UU No 62 tahun 1958, UU ini jauh lebih memperjelas dan mempertegas pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli yaitu sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri).

  1. Soal warga negara atau kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, dalam perkembangannya mengalami 2 (dua) produk perjanjian yang mempengaruhi. Apa saja?

Jawab:

Pertama, Perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB) di S’Gravenhage tahun 1949 yang diatur melalui                            Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1950  dan dibatalkan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1956.                  Kedua, Perjanjian antara Pemerintah RI-RRC mengenai soal Dwi-Kewarganegaraan yang dituangkan dalam               Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 dan dibatalkan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1969.

 

Perda Denda Akta Lahir Harus Dicabut !

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

Tiga ribu Peraturan Daerah (Perda) “bermasalah” sudah dicabut Menteri Dalam Negeri, namun belum satupun Perda mengenai denda keterlambatan pengurusan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil turut dicabut.

Akta kelahiran merupakan dokumen dasar penduduk yang sangat penting, karena  menjelaskan identitas diri dan status kewarganegaraan seseorang. Oleh sebab itu negara wajib memberikannya kepada setiap orang, karena ini merupakan perintah konstitusi, sebagaimana bunyi pasal 28D ayat 4 UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

UNICEF memprediksi, di Indonesia anak di bawah umur satu tahun yang memiliki akta kelahiran baru mencapai 51%. Dari pendampingan yang dilakukan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) di beberapa daerah sebagaimana dikatakan Sekretaris Umum IKI, Indradi Kusuma, saat ini masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Hal ini disebabkan antara lain: karena minimnya sosialisasi dari pemerintah, sehingga sebagian masyarakat menganggap kurang pentingnya akta kelahiran dibandingkan pemenuhan kebutuhan dasar lain; keengganan penduduk untuk mengurus akta kelahiran bagi anaknya juga akibat adanya pengenaan denda oleh Dinas Kependudukan & Catatan Sipil (Dukcapil) bagi yang terlambat mengurus.

Di banyak daerah seperti: Banten dan Jawa Barat, dan lain-lain, masih dijumpai Perda mengenai denda keterlambatan dalam pengurusan akta kelahiran yang seharusnya menjadi beban APBN/APBD. Demikian juga jarak kantor catatan sipil berimplikasi terhadap biaya dan waktu pengurusan akta. Hal-hal inilah yang menjadi hambatan masyarakat dalam mengurus akta kelahiran, terlebih lagi bagi keluarga yang tidak mampu dan atau mereka yang tinggal di daerah terpencil.

Sungguh memprihatinkan, di negara-negara Asean, Indonesia menempati peringkat dua  dari bawah, di atas Timor Leste, terkait registrasi di bidang kependudukan terhadap anak-anak di bawah usia 5 tahun. Thailand 100%, Vietnam 95%, Filipina 80%, Laos 75%, Myanmar 72%, Indonesia 66%, dan Timor Leste 55%.

 

Dampak Buruk

Akibat tidak dimilikinya akta kelahiran ini, banyak anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan, maupun stigma sebagai “anak haram jadah atau anak hasil perselingkuhan” karena banyak anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

Sementara dampak buruk bagi negara adalah, tidak mampunya Negara membuat perencanaan pembangunan dengan baik, seperti penyediaan sekolah, puskesmas, lahan pemukiman, dan pelayanan sosial lainnya. Yang  lebih mengerikan lagi adalah terjadinya kemerosotan pendidikan, karena banyak anak-anak tidak bersekolah, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, adopsi illegal, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan sebagainya.

Satu hal yang perlu diantisipasi adalah minimnya akta kelahiran yang dimiliki oleh rakyat Indonesia yang berdiam di daerah-daerah perbatasan terutama yang berbatasan dengan Malaysia. Bisa-bisa mereka diberi akta kelahiran sebagai warga Negara Malaysia dan patok perbatasan-pun bisa bergeser. Kalau ini sudah terjadi, ini sungguh amat sangat mengerikan. Kenapa ?, sudah kayu kita dicuri, minyak kelapa sawit kita banyak diselundupkan ke wilayah Malaysia, warga Negara kita diakui, dan patok perbatasan-pun bisa bergeser semakin lebar.

 

Pencabutan Perda Bermasalah

Kekuasaan menerbitkan akta kelahiran saat ini berada di tangan para bupati/walikota melalui kepala dinas kependudukan & catatan sipil. Oleh karena itu, diperlukan itikad baik  dan kerelaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kalangan masyarakat tidak mampu dan marginal ini. Dorongan organisasi kemasyarakatan seperti yang dilakukan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) dalam mengawal pelaksanaan di lapangan perlu didukung para penggiat civil society.

Perihal kewarganegaraan seseorang sebagaimana tercantum dalam akta kelahiran, adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 53 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya melalui penerbitan akta kelahiran.

Sementara itu, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Tanpa akta kelahiran, anak tidak punya identitas diri dan status kewarganegaraan (stateless). Dengan akta kelahiran setiap anak dapat (berhak) memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No 24/2013 (perubahan atas UU No 23/2006) menegaskan bahwa setiap penduduk berhak untuk memperoleh dokumen kependudukan dan mendapat pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Salah satu jenis dokumen kependudukan yang dimaksud adalah akta kelahiran. Walaupun UU ini tidak (belum) mencabut denda keterlambatan, namun UU menjamin bahwa pengurusan dokumen kependudukan dibebankan kepada Pemerintah.

 

Diskresi atau terobosan hukum yang diambil Prof DR Zudan Arif Fakrulloh, SH MH, Profesor muda – Direktur  Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil yang menginisiasi terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2016 tanggal 24 Pebruari 2016 dan Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se Indonesia tanggal 12 Mei 2016, yang mempercepat penerbitan KTP-el dan akta kelahiran, perlu diapresiasi karena membuat lega masyarakat termasuk anak-anak yatim piatu yang selama ini dipinggirkan, untuk bisa mengurus akta kelahiran.

Namun demikian, terkait dengan Perda denda keterlambatan, maka tidak ada cara lain Menteri Dalam Negeri untuk  segera meneliti dan mencabut Perda-Perda yang memberatkan masyarakat dalam pengurusan dokumen kependudukan dan pencatatan sipil, dan secara berbarengan merevisi UU No 24/2013. ***

 

Paschasius HOSTI Prasetyadji: Peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia

 

Posted on

DASAR HUKUM AKTA KELAHIRAN

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

S E J A R A H

Peraturan tentang Kekaulanegaraan Hindia-Belanda IS Pasal 131 dan 163 menggolongkan:

  • Stb 1849 untuk golongan Eropa
  • Stb 1917 untuk golongan Tionghoa
  • Stb 1920 untuk golongan Pribumi Non Kristen
  • Stb 1933 untuk golongan Pribumi Kristen

 

Heading Akta Kelahiran 1945 – 1966

Tjatjatan Sipil Nama Kota

Golongan: E,T,I

(Tanpa keterangan mengenai

Status kewarganegaraan)

Burgerlujke Stand

Nama Kota: …………….

Acte Van Geboorte

… register van geboorten

Voor de Chinezen

 

Inpreskab No 31/U/IN/12/1966, tgl 27 Des 1966, ingin menghapus penggolongan penduduk berdasarkan Stb-Stb

Inpreskab No 31/U/IN/12/1966 ditindak-lanjuti dengan

SE Menkeh & Mendagri No Pemudes 51/1/1 – J.A.2/2/5, tgl 25 Jan 1967,

Sesungguhnya tidak menghapus penggolongan, hanya mengganti dengan kode Staatblad berdasar Pasal 131 dan 163 IS.

 

Heading Akta Kelahiran 1966 – 2006

Pencatatan Sipil

Warga Negara …………………………

……… menurut Stb …………..

 

Heading Akta Kelahiran 2006 – sekarang

Pencatatan Sipil

Warga Negara ……………….

(Indonesia utk WNI,   Negara lain utk WNA)

 

DASAR HUKUM AKTA KELAHIRAN

  1. UUD 1945 Pasal 28D ayat (4), Setiap orang berhak atas status

kewarganegaraan.

  1. UUD 1945 Pasal 34 ayat (1), Fakir miskin dan anak-anak terlantar

dipelihara oleh Negara.

  1. UU 39/1999 Pasal 53 ayat (2), Setiap anak sejak kelahirannya, berhak

atas suatu nama dan status kewarganegaraan

  1. UU 23/2002 Pasal 5, Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai

identitas dan status kewarganegaraan.

  1. UU 12/2006 Pasal 4 huruf (k), Anak yang lahir di wilayah Negara

Republik Indonesia, apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya, adalah warga Negara Indonesia.

  1. UU 24/2013 Pasal 79A à revisi dari UU 23/2006, Pengurusan dan

penerbitan Dokumen Kependudukan tidak dipungut biaya.

  1. UU 24/2013 à Stelsel Aktif diwajibkan kepada Pemerintah melalui

petugas.

  1. PP 37/2007 à Pelaksanaan UU 23/2006 Adminduk.
  2. Pres. 25/2008 Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Penduduk

dan Pencatatan Sipil.

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 18/PUU-XI/2013 tanggal 30 April 2013 Jam 14:30 WIB menegaskan bahwa, Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh Negara.
  2. Peraturan Mendagri No 9/2016, tanggal 24 Pebruari 2016, à Pasal 3 dan 4.

Pasal 3 à Bagi anak yang tidak diketahui asal-usul (dulu BAP à sekarang SPTJM)

Pasal 4 (1) à Surat Ket Lahir tidak ada à cukup SPTJM

Pasal 4 (2) à Kutipan Surat Nikah tidak ada à cukup SPTJM

  1. Surat Mendagri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota No 471/1768/SJ tanggal 12 Mei 2016 à Penerbitan Akta Kelahiran tidak perlu Pengantar RT, RW, dan Kelurahan/Desa.
  2. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 7 November 2017 menegaskan bahwa Negara wajib memenuhi hak konstitusi kepada umat penghayat kepercayaan dengan mencantumkan penghayat kepercayaan pada kolom agama dalam kartu tanda penduduk dan kartu keluarga yang selama ini ditulis: “ – “ atau dikosongkan.

 

BAP BERTENTANGAN

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk Anak Panti Asuhan yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya dan Anak Terlantar.

  • Persyaratan BAP untuk anak-anak yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya, adalah bertentangan dengan Pasal 28 dan 34 UUD 1945 serta UU No 12/2006.
  • Persyaratan BAP seharusnya ditujukan kepada Negara atau dalam hal ini Menteri Sosial (Kementrian Sosial) yang bertanggung-jawab terhadap fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana Pasal 34 UUD 1945.
  • Oleh karena itu, perlu Diskresi dari Kemendagri C.q. Ditjen Dukcapil untuk mengganti BAP, dengan surat keterangan tentang kebenaran data yang tercantum, yang ditanda-tangani oleh pimpinan panti asuhan atau lembaga keagamaan yang mengasuh anak-anak yatim atau terlantar.

 

Paschasius HOSTI Prasetyadji