Posted on

TANYA JAWAB MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN KEPENDUDUKAN Bagian 2

Oleh: Prasetyadji

 

  1. Sejak kapan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk?

Jawab:

KNIP dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Pebruari 1950. KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dan berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Melalui KMB, Kerajaan Belanda bersedia menyerahkan  kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan gabungan antara RI dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).

Dengan diratifikasinya hasil-hasil KMB oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dalam sidang tanggal 1-15 Desember 1949, terbentuklah RIS. Indonesia yang berbentuk federasi ini, terdiri atas 16 negara bagian yang masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Rapat KNIP juga memilih Soekarno sebagai presiden, dan Hatta sebagai Perdana Menteri RIS.

Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS tersebut, tertuang dalam piagam Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara (PPPWN).

 

  1. Pembatalan perjanjian KMB tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 1956. Apa latar belakang pembatalan  tersebut ?

Jawab:

Latar belakang pembatalan  tersebut cukup jelas, antara lain:

(a)       Kepentingan negara dan rakyat sangat dirugikan.

(b)       Isi dan makna perjanjian tidak dapat dipertanggung-jawabkan                     lagi karena  Irian Barat sebagai bagian mutlak dari wilayah                           Republik Indonesia  masih diduduki oleh Belanda.

(c)       Dalam beberapa perundingan Indonesia dan Belanda selalu

berakhir kandas karena ketidak-sediaan dari pemerintah                     Belanda.

(d)       Tidak adil bahwa dari pihak Pemerintah Indonesia terus-                             menerus diminta kesediaan untuk mengadakan perundingan.

 Dengan latar belakang itu, pembatalan perjanjian secara eksplisit bersifat unilateral sesuai dengan arti dan makna hukum internasional.

 

  1. Setelah adanya pembatalan Konferensi Meja Bundar tahun 1956, ada pertanyaan menyangkut pengaturan mengenai kewarganegaraan, yaitu bagi wilayah bekas Republik Indonesia, tentu berlaku kembali Undang-undang yang mendahuluinya (yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947). Namun bagi wilayah bekas negara-negara federal apakah tetap berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1950 tentang Menjalankan hak memilih dan hak menolak kebangsaan Indonesia bagi orang yang menjelang waktu penyerahan kedaulatan adalah kawula negara Kerajaan Belanda? Atau menundukkan (dengan menunjuk) pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947 ?

Pertanyaan itu muncul, karena berimplikasi terhadap status kewarganegaraan anak keturunannya. Contoh kasus penanggalan kewarganegaraan Republik Indonesia dilakukan oleh Liem Koen Hian salah seorang anggota BPUPKI, yang akhirnya menanggalkan kewarganegaraan   Indonesianya menjadi warga negara asing.

Tercatat bahwa:

          Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin tahun 1897;

Tahun 1932 ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI);

Pada tahun 1945, ketika pemerintah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta, Liem dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Pada 1947, Liem ikut serta sebagai salah seorang anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville.

Pada masa kemerdekaan 17 Agustus 1945 orang-orang “keturunan” diberi masa opsi untuk memilih kewarganegaraan (Indonesia atau asing) sampai dengan 17 Agustus 1948.

Pada tahun 1951 Liem yang mempunyai sebuah apotik di kawasan Tanah Abang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah semasa Kabinet Soekiman selama beberapa waktu atas    tuduhan menjadi simpatisan kiri. Kejadian ini tentu sangat mengecewakan Liem Koen Hian.

Bahwa sesuai perjanjian Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 27 Desember 1951 orang-orang “keturunan” ini diberikan kembali masa opsi untuk memilih kewarganegaraan (Indonesia atau asing).

Pada masa opsi ini Liem Koen Hian memutuskan untuk menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya. Ia menjadi warga negara asing di negara yang telah puluhan tahun diperjuangkannya

Jawab:

Apabila dengan dibatalkannya perjanjian KMB dan masalah kewarganegaraan kembali lagi ke UU No 3 tahun 1946, maka Liem Koen Hian beserta keturunannya seharusnya bisa menjadi warga negara Indonesia sebagaimana berlaku Undang-Undang Kewarganegaraan yang mendahuluinya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 6 tahun 1947 juncto Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947.

 

  1. Bagaimana rintisan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRC ?

Jawab:

Pada tahun 1950, Pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan RRT. Lima tahun setelah dibuka hubungan diplomatik tersebut, RI dan RRT mulai membicarakan masalah dwi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Karena RRT menganut asas ius sanguinis, sedangkan RI menganut asas ius soli, maka ada orang-orang yang diakui secara hubungan darah sebagai warga negara RRT dan dari sisi tanah kelahiran sebagai warga negara RI. Perlu diingat bahwa pembahasan antara RI dan RRT mengenai kedua prinsip ini terjadi pada masa ketika RI juga masih terikat perjanjian bilateral dengan Belanda melalui KMB, yang kemudian dibatalkan pada tahun 1956.

Usaha membereskan soal status kewarganegaraan ganda ini sudah dirintis sejak tahun 1954 oleh dutabesar RI di Tiongkok Arnold Mononutu waktu itu. Pembicaraan-pembicaraan kemudian dimatangkan dalam draft naskah perjanjian yang didiskusikan di Beijing.

Tanggal 22 April 1955 di tengah-tengah berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika, Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ditandatangani oleh kedua menteri luar negeri, Mr. Sunaryo dari pihak Republik Indonesia dan Chou En-Lai dari Republik Rakyat Tiongkok. Perjanjian ini memberlakukan sistem aktif bagi warga Tionghoa yang sudah memegang kewarganegaraan Indonesia, yaitu mereka yang lahir di Indonesia sebelum 27 Desember 1949 yang sebelumnya tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. Kepada mereka diberi jangka waktu dua-tahun untuk memilih dimulai sejak adanya pertukaran ratifikasi perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut dengan memberi pernyataan di pengadilan.

 

  1. Bagaimana isi perjanjian dwi-kewarganegaraan RI-RRC ?

Jawab:

Disepakatinya ada warga negara Indonesia Tunggal.

Yang dianggap sudah sebagai warga negara Indonesia tunggal, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1958 menegaskan bahwa Warganegara Republik Indonesia keturunan Tionghoa yang dianggap telah melepaskan kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok-nya, sebagaimana dimaksud dalam angka 2 Penukaran Nota antara Perdana Menteri Republik Indonesia dan Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok tertanggal Peking, 3 Juni 1955 ialah mereka yang pada waktu Perjanjian mulai berlaku :

  1. sudah pernah bersumpah atau berjanji setia kepada Republik Indonesia sebagai anggauta sesuatu badan resmi;
  2. anggauta Angkatan Perang Republik Indonesia atau telah dihentikan dengan hormat sebagai demikian;
  3. anggauta Polisi Republik Indonesia atau telah dihentikan dengan hormat sebagai demikian;
  4. seorang veteran;
  5. pegawai negeri atau telah dihentikan sebagai pegawai negeri Republik Indonesia dengan berhak menerima pensiun;
  6. pegawai daerah otonom atau telah dihentikan sebagai pegawai daerah otonom Republik Indonesia dengan berhak menerima pensiun;
  7. sudah lebih dari satu kali mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam lapangan politik, dan setelah mewakili Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mewakili Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok;
  8. sudah lebih dari satu kali mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam lapangan ekonomi, dan setelah mewakili Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mewakili Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok;
  9. sudah lebih dari satu kali newakili Republik Indonesia dalam lapangan kebudayaan atau keolahragaan yang bersifat perlombaan antar-negara, dan setelah mewakili Repiblik Indonesia, tidak pernah mewakili Republik Rakyat Tiongkok;
  10. petani, yang menurut pendapat Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Menteri Agraria cara hidupnya dan pergaulannya dengan masyarakat Indonesia aseli menunjukkan bahwa ia sebetulnya anak pribumi;

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *