MEMBAUR MELALUI GERAKAN PEMBAURAN BANGSA

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

 

Pemerintah Orde Baru

Sesudah bubarnya Konstituante tahun 1959, yang disebabkan tidak memungkinkan diterimanya rencana konstitusi, melahirkan periode baru pemerintahan Republik Indonesia yang disebut sebagai masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan kemudian prahara politik juga melahirkan era baru kepemerintahan disebut masa Orde Baru (1966-1998).

Dalam dua masa pemerintahan ini warga Tionghoa mengalami berbagai tekanan dan hambatan yang tidak hanya menghambat gerak kehidupan mereka tetapi penindasan dan kekerasan anti-Cina kerap harus pula dihadapi.

 

Pembubaran Baperki dan LPKB –“Instatus Nascendi”

Akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 membawa dampak negatip lagi bagi etnis Tionghoa secara keseluruhan, karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Sehingga sebagai akibatnya praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status kewarganegaraan.

Akibat lain yang ditimbulkan antara lain adalah dibubarkannya organisasi-organisasi yang identik dengan etnis Tionghoa, seperti Chung Hwa Hui (CHH) misalnya, sekolah-sekolah Tionghoa, dan lain-lain.

Sikap politik Pemerintah yang “menekan” etnis Tionghoa ini semakin nampak dalam Sambutan Menteri Dalam Negeri pada waktu acara pembubaran LPKB, tanggal 16 Desember 1967 dan serah terima LPKB kepada Departemen Dalam Negeri, sebagai berikut:

“….. di lain pihak tidak dapat menandingi pengaruh Baperki terhadap masa peranakan yang menyeret mereka lebih jauh ke Utara dari pada lebih mengeratkan ikatannya dengan bumi dan alam tempat mereka dilahirkan, dibesarkan dan dikebumikan.

 Kita sama-sama mengetahui dan mengalami betapa a-politis umumnya sikap dan cara hidup masyarakat WNI keturunan asing di negara kita, betapa mereka umumnya hanya ingin hidup senang dan makmur tanpa suka mencampuri politik. Kita sama-sama mengalami bahwa sebagai akibat dari sikap hidup demikian, banyak diantaranya yang menjadi oportunistis dalam soal-soal politik, sehingga menimbulkan perasaan dan sikap bermusuhan di kalangan masyarakat luas terhadap golongan ini, karena kebanyakan dari mereka, bahkan sampai sekarang masih tetap bersikap acuh tah acuh terhadap segala kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh bangsa dan negaranya.

 Di suatu pihak Pemerintah mendirikan LPKB yang harus melaksanakan amanat assimilasinya, dilain pihak membiarkan Baperki hidup subur dan makmur dengan faham integrasi-nya yang menitik beratkan pada tuntutan persamaan hak dan penghapusan diskriminasi tanpa assimilasi.

 Bahkan pada masa Orde Lama pernah diciptakan suku baru di Indonesia, yakni suku Cina yang konon ber-daerah “entah-dimana”, syukur alhamdulilah suku “Instatus nascendi”  ini menguap bak embun dipagi hari”.

Karena sikap politik Pemerintah inilah, masyarakat umumnya dan terutama etnis Tionghoa takut bicara politik, karena akan dituduh identik dengan Baperki. Lie Siong Tay menyadari bahwa kondisi politik ini sangat sensitif, dari aspek apapun, etnis Tionghoa sangat dirugikan.

“Kondisi politik ini tidak adil !. Tidak semua etnis Tionghoa itu simpatisan Baperki !, kasihan – orang tidak tahu apa-apa harus menanggung dosa”, kata Lie Siong Tay ketika itu. Oleh karena itu, lanjutnya “harus ada kanal atau saluran untuk menyampaikan kegelisahan ini kepada pemerintah pusat, (maksudnya Presiden).”

Kegundahan hati Lie inilah yang sering didiskusikan dengan sahabatnya yaitu Njoo Han Siang, tokoh muda yang kebetulan berasal dari daerah yang sama.

Tindakan pemerintah yang mendiskriminasi etnis Tionghoa ini kemudian diwadahi dalam bentuk Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina.

 

Terbitnya Peraturan Yang Diskriminatif

Sementara itu, di awal pemerintahan Orde Baru, mulai muncul kebijakan-kebijakan yang ”menekan” ruang gerak etnis Tionghoa. Kebijakan-kebijakan itu antara lain seperti:

Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina. Kebijakan ini mengatur pembatasan mengenai masalah pendidikan, kegiatan usaha, dan tenaga kerja.

Sejalan dengan terbitnya Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina jo Surat Presiden Nomor B-12/Pres/1/1968 tanggal 17 Januari 1968 perihal Pelaksanaan Pasal 7,8,9, Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri secara khusus dinyatakan, bahwa:

Anak warga negara asing Cina penduduk Indonesia boleh mengikuti pendidikan dan pengajaran nasional yang didirikan dengan badan hukum Indonesia atas izin Pemerintah.

Kepala sekolah dan guru-guru diangkat dan diberhentikan oleh badan hukum dengan persetujuan Menteri pendidikan.

”Bidang-bidang teknis edukatif ditentukan oleh Pemerintah.

Tempat yang disediakan bagi anak warga negara asing Cina sebanyak-banyaknya 40% jumlah murid warga negara Indonesia harus lebih banyak dari pada murid warga negara asing Cina.

Pada kenyataan di lapangan, telah terjadi masalah mengenai ketentuan pembauran antara anak didik warga negara asing Cina dengan anak didik  warga negara Indonesia peranakan Cina.

Pada dasarnya dengan ditutupnya sekolah anak didik warga negara asing Cina mempersempit daya tampung di sekolah-sekolah, maka sering timbul pandangan bahwa anak didik warga negara Indonesia peranakan Cina  dan anak didik warga negara asing Cina tidak mau sekolah di sekolah nasional.  Sesungguhnya persoalannya, daya tampung sekolah menjadi lebih kecil, sehingga dirasakan sulit mencari sekolah. Hal ini sebagai akibat penutupan atau pelarangan adanya sekolah warga negara asing Cina, maka terjadi pengurangan tempat pendidikan dan larangan ini mempertajam rasa rasis terhadap warga negara asing Cina pada umumnya. Dan untuk mendirikan sekolah baru bukan hal yang mudah, karena membutuhkan dana yang besar.

Terkait dengan bidang usaha, mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 (Perpres No 10/1959) yang mengatur tentang larangan usaha perdagangan asing di luar ibukota daerah swatantra tingkat I dan II serta karesidenan disingkat Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran (PPKE).

Prinsipnya dalam rangka Indonesianisasi usaha perdagangan pada umumnya dan sosialisasi aparatur distribusi khususnya pedagang kecil eceran yang ditutup harus dilakukan langkah-langkah ke arah likwidasi perusahaannya dan diganti rugi dengan uang tunai atau pinjaman. Jumlah ganti rugi dengan uang tunai atau pinjaman ditetapkan dengan modal perusahaan, baik berupa uang maupun barang dagangan, bangunan dan kekayaan lainnya yang secara sukarela dapat dipergunakan oleh organisasi yang ditunjuk dan meneruskan usaha perdagangan kecil dan eceran itu.

Apabila belum ada koperasi, maka sambil menunggu terbentuknya koperasi, Camat dibantu Bintara Onder District Militer (BODM) membentuk Panitia untuk menerima pemindahan hak atau meneruskan usaha dagang kecil dan eceran.

Pedagang besar atau pedagang perantara diwajibkan menghentikan, menyalurkan kepada perusahaan yang sudah ditutup dan mengalihkan pada perusahaan nasional setempat. Penentuan harga barang yang diambil-alih sesuai dengan harga beli dan ruangan yang dipakai harus diserahkan juga.

Bagi mereka, larangan ini cukup memprihatinkan dan tentu menyebabkan kegelisahan, dan pengusaha yang telah terbiasa untuk mendapat barang-barang untuk di ekspor seperti karet, tengkawang, dan sebagainya terhenti adanya larangan tersebut.

Karena kurang pengetahuan dan kondisi serta situasi tidak memungkinkan menolak, maka mereka mengikuti apa yang dikehendaki para camat serta dibantu BODM, bahkan dirasakan disertai pengusiran.

Begitu pula terkait dengan masalah tenaga kerja. Bahwa yang dianggap penduduk warga negara asing yang akan bekerja wajib mendapatkan izin kerja. Pelayan atau pembantu di toko mereka wajib memiliki izin tenaga kerja.

Perlu melihat apa yang dimaksud dengan pekerjaan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing. Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah: “Setiap pekerjaan yang dilakukan diperintah orang lain dengan menerima upah atau tidak”.

Dari definisi ini pelayan toko juga termasuk orang yang wajib memiliki izin kerja, maka tentunya menjadi masalah tersendiri, karena tentu orang atau setiap orang yang diperintah orang lain dan dapat upah harus punya izin kerja.

Majikan dilarang memberi pekerjaan kepada orang asing tanpa izin kerja tertulis. Kemudian disusul juga dengan Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 1968 tentang Pengawasan Orang Asing yang melakukan pekerjaan bebas di Indonesia juncto surat Menteri Dalam Negeri Nomor Eapm 32/8/7 tanggal 29 April 1968, disini yang dimaksud orang asing yang melakukan pekerjaan bebas (vrije beroepen) wajib memiliki izin kerja tertulis. Jadi kalau warga negara asing mengerjakan membuat tahu, maka selain izin berusaha juga untuk dirinya harus punya izin bekerja.

Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 1967 tentang Pembentukan staf khusus urusan Cina. Kebijakan ini menugaskan staf khusus  untuk merumuskan kebijaksanaan, mengikuti dan mengawasi pelaksanaannya, serta mengendalikan kegiatannya.

Diterbitkan pula pembatasan dalam penyelenggaraan perayaan agama, kepercayaan, maupun adat istiadat Cina melalui Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967.

Begitu pula dengan alasan untuk menanggulangi usaha propaganda asing,  Pemerintah menerbitkan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 49/U/IN/8/1967   mengenai pendayagunaan mass media berbahasa Cina.

Tahun 1975 terbit Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 tahun 1975 – Nomor 060a/P/1975 yang mengatur tentang Penunjukan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I sebagai Penanggung Jawa Pengendalian Pelaksanaan Asimilasi di bidang Pendidikan di Daerah.

 

Berdirinya BAKOM-PKB Pembauran Bangsa

Pertemuan dua sahabat Njoo Han Siang yang memiliki wawasan politik cukup luas dan Lie Siong Tay yang mengerti hukum ini berlangsung sejak tahun 1960-an. Mereka dan kawan-kawannya, seperti Liem Sioe Liong, William Soeryadjaya, lalu melakukan pendekatan-pendekatan dengan pihak pemerintah, agar ada ”kanal” untuk mencairkan ”ketakutan dan diskriminasi” yang dialami etnis Tionghoa selama itu.

Sebab, sampai dengan tahun 1976, praktis jarang ada organisasi kemasyarakatan yang berani secara terbuka  memperjuangkan masalah status kewarganegaraan etnis Tionghoa ini. Justeru yang terbit adalah peraturan-peraturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa. Baru pada tahun 1977 setelah bubarnya Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) tahun 1969, mulai muncul ketika dibentuknya Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM-PKB) tanggal 28 Oktober 1977.

Dengan didasari pemikiran bahwa tidak semua keturunan Tionghoa merupakan simpatisan Baperki, mengerti persoalan politik, dan kaya, dan masalah kemanusiaan merupakan masalah yang universal, oleh karena itu permasalahan yang menyudutkan keturunan Tionghoa ini harus diselesaikan.

Sebagai tokoh muda, Njoo paham terhadap apa yang menjadi pemikiran Lie Siong Tay. Untuk mengimplementasikan pemikiran Lie tersebut, Njoo Han Siang sering membicarakan dengan Ali Moertopo. Maka untuk memperjelas ide dan pemikiran Lie ini, Ali Moertopo minta Njoo Han Siang bersama-sama Lie Siong Tay ke rumahnya dan diterima di ruang pribadi. Dan hasilnya disampaikan Ali Moertopo kepada Presiden Soeharto.

Njoo Han Siang juga mendiskusikan mengenai persoalan kewarganegaraan ini dengan kawan-kawannya, seperti Harry Tjan Silalahi, Soehardiman, dan lainnya.

Disamping menemui Ali Moertopo, Lie Siong Tay juga meng-encourage Liem Sioe Liong (Soedono Salim) sebagai kawan sejak muda.  Dengan demikian informasi yang Lie Siong Tay dan Njoo Han Siang sampaikan kepada  Ali Moertopo sejalan juga dengan informasi yang disampaikan Liem Sioe Liong kepada Presiden Soeharto.

 

Penataran Pancasila dan Kesadaran Berbangsa  

Antara tahun 1965 – 1978 seolah terjadi ‘kevakuman’ akibat ketakutan yang melanda etnis Tionghoa. Maka, langkah yang dilakukan oleh para tokoh senior keturunan Tionghoa ketika itu seperti Njoo Han Siang, Lie Siong Tay, dan lain-lain seperti tokoh intelektual Lie Tek Tjeng, Harry Tjan Silalahi, adalah melakukan diskusi-diskusi antara lain dengan Ali Moertopo dan koleganya, dan mendesak agar tekanan-tekanan terhadap etnis Tionghoa ini segera dapat ‘dicairkan’. Dan karena faktor hubungan kekeluargaan diantara mereka yang kuat,  maka diskusi sering dilakukan di rumahnya Ali Moertopo. Dan karena faktor hubungan kekeluargaan yang kuat diantara mereka, maka diskusi-diskusi sering dilakukan di rumahnya Ali Moertopo. Para tokoh ini juga meng-encourage (mendorong) Liem Sioe Liong untuk terlibat dalam kegiatan kemanusiaan, menolong sesama warga bangsa yang sedang mengalami kesulitan mengenai status kewarganegaraan ini dan menyampaikan gagasan pemikiran itu kepada Presiden Soeharto.

Ketika itu, secara rutin para tokoh senior keturunan Tionghoa  melakukan pendekatan-pendekatan dengan pihak pemerintah, agar ada ”kanal” untuk mencairkan ”ketakutan dan praktek diskriminasi” yang dialami warga Tionghoa selama itu. Sebab, sampai dengan tahun 1976, praktis jarang ada organisasi kemasyarakatan yang berani secara terbuka  memperjuangkan masalah status kewarganegaraan warga Tionghoa ini. Justeru yang terbit adalah peraturan-peraturan yang mendiskriminasi warga Tionghoa.

Dengan didasari pemikiran bahwa tidak semua keturunan Tionghoa merupakan simpatisan Baperki, mengerti persoalan politik, dan kaya, oleh karena itu permasalahan yang ”menyandera” warga Tionghoa ini harus diselesaikan.

Sejalan dengan disahkannya Tap MPR No II tahun 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa atau P4) dan dari hasil diskusi tersebut diatas, maka diusulkan kepada Presiden agar disamping para pejabat yang mendapatkan penataran P4, juga para pengusaha.

Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) berasal dari bahasa Sansekerta, yang satu per satu diartikan: ‘eka’ berarti tunggal atau satu, ‘prasetia’ berarti janji, ‘panca’ berarti lima, dan ‘karsa’ berarti kehendak. Oleh karena itu, secara keseluruhan mengandung arti janji yang satu untuk melaksanakan lima kehendak. Dan lima kehendak itu adalah kelima sila dari Pancasila sebagai pedoman bagi kita bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.

P4 dituangkan dalam rumusan yang sederhana dan jelas, yang mencerminkan suara hati nurani untuk membina kerukunan hidup beragama; menjunjung nilai dan melakukan kegiatan kemanusiaan; mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan Indonesia; mengutamakan kepentingan bersama dan musyawarah; serta memupuk sikap suka menolong, suka bekerja keras, menghindari sifat pemborosan, bergaya mewah atau merugikan kepentingan umum.

Dengan demikian, antara pejabat dan pengusaha disamping memiliki pemikiran dan visi yang sama mengenai pentingnya wawasan kebangsaan, juga dapat lebih mempererat dan bersinergi sehingga saling memahami perannya masing-masing.

Setelah dilakukan persiapan-persiapan dan koordinasi dengan  Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7), maka para tokoh senior Tionghoa ini mulai menghimpun teman-teman untuk mengikuti Penataran P4, dan tidak diwakilkan, artinya pemilik perusahaan sendiri menjadi peserta penataran.

Penataran P-4 diselenggarakan pada tanggal 25 Februari – 1  Maret 1980 di Hotel Indonesia, Jakarta. Diikuti oleh sekitar 250 pengusaha nasional. Dalam penataran ini para pejabat secara terjadwal menyampaikan sambutan dan materi sesuai bidangnya.

Pelaksanaan penataran P4 ini diselenggarakan sampai larut malam. Penatarannya sendiri sampai sore, kemudian dilanjutkan acara diskusi yang setiap sesi ada key note speaker yang dilakukan oleh beberapa menteri secara terjadwal. Materi-materi penataran yang dianggap penting seperti pengertian tentang asimilasi, akulturasi dan tugas sebagai warga negara dan lain-lain, disajikan  dalam bentuk alat peraga yang tertulis, supaya  mudah diingat dan dipahami.

Para pengusaha semakin memahami kewajiban dan tanggung jawab yang harus dlakukan, baik secara peorangan maupun bersama-sama sesuai dengan fungsi dan profesi masing-masing. Hal itu berarti, bahwa setiap warga negara Indonesia harus semakin intensif mendidik diri sendiri untuk menjadi warga negara Indonesia yang semakin baik. Selanjutnya mengembangkan kualitas demikian itu ke lingkungan di sekitarnya dan semakin meluas.

Dalam dunia usaha, sikap itu berarti makin tegasnya motivasi, sikap hidup dan tingkah laku sehari-hari, yang memancarkan wajah gagasan-gagasan dasar kenegaraan dan kebangsaan itu. Bukan lagi semata-mata hanya pelaksanaan kewajiban membayar pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, tetapi juga secara nyata penempatan setiap motivasi, sikap hidup dan pola usaha sehari-hari, yang kesemuanya bersumber dan bermuara pada terwujudnya gagasan-gagasan dasar kenegaraan tersebut, mewujudkan ekonomi sosial yang menunjang meningkatnya ketahanan nasional yang meliputi segala bidang kehidupan.

Selanjutnya, oleh para pengusaha ini kemudian disepakati untuk mengumpulkan semacam dana solidaritas. Rencana ini merupakan ide yang tumbuh dari para pengusaha secara sukarela untuk menunjang kebutuhan masyarakat banyak yang dianggap sangat mendesak terutama pada: sarana pendidikan, memperluas penataran P4 ke pelosok tanah air, dan pelayanan kesehatan.

Kebetulan, ketika berlangsungnya penataran itu terjadi gempa bumi  di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa-Barat, Sumatera-Barat, Bengkulu, Bali, dll. Maka, untuk membantu meringankan beban para korban bencana alam ini, para pengusaha peserta penataran mengumpulkan dana dan membentuk beberapa tim untuk melakukan tinjauan ke lapangan dan terutama membangun puluhan gedung sekolah dan puluhan rumah ibadah.  Sebagai wujud kepedulian, bersama Menteri Pendidikan, para pengusaha ini melakukan kunjungan dan perbaikan gedung-gedung sekolah di beberapa daerah di Jawa-Barat, Sumatera-Barat, dan Bengkulu.

 

UPAYA PENYELESAIAN MASALAH KEWARGANEGARAAN WARGA TIONGHOA DI INDONESIA

 Inpres Nomor 2 Tahun 1980 tentang SBKRI

Ada pun upaya-upaya penyelesaian masalah status kewarganegaraan etnis Tionghoa yang dilakukan adalah melalui salah satu produk hukum yang cukup fenomenal yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia yang disingkat SBKRI. Keluarnya kebijakan ini untuk menyelesaikan masalah status quo kewarganegaraan orang-orang Tionghoa.

Kebijakan Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980 ini, dikeluarkan berbarengan dengan diadakannya penataran P4 bagi para pengusaha nasional.  sejalan dengan disahkannya Tap MPR tahun 1978 yang menyangkut P4, maka Ali Moertopo mengusulkan agar disamping para pejabat yang mendapatkan penataran P4, juga para pengusaha. Dengan demikian, antara pejabat dan pengusaha memiliki pemikiran dan visi yang sama mengenai pentingnya wawasan kebangsaan Indonesia didalam kebhinekaan.

Setelah dilakukan persiapan-persiapan dan koordinasi dengan Kepala BP-7 ketika itu Hari Suharto yang ditunjuk Presiden Soeharto, maka Njoo Han Siang, Liem Sioe Liong, Lie Siong Tay, William Soeryadjaya, dan kawan lainnya mulai menghimpun teman-teman untuk mengikuti Penataran P4, dan tidak diwakilkan, artinya pemilik perusahaan sendiri menjadi peserta penataran.

Penataran P-4 diselenggarakan pada tanggal 25 Februari – 1 Maret 1980 di Hotel Indonesia, Jakarta. Diikuti oleh sekitar 250 pengusaha nasional. Dalam penataran ini para pejabat secara terjadwal menyampaikan sambutan dan materi sesuai bidangnya.

Dalam pelaksanaan P4 yang dibuka oleh Presiden Soeharto, yang pada pembukaan  sempat diputarkan film  ”Kisah Cinta”  salah satu karya Nyoo Han Siang (buku Njoo Han Siang: Pertemuan Dua Arus, 2007, halaman 142),  kegiatan tersebut diselenggarakan sampai larut malam. Penatarannya sendiri sampai sore, kemudian dilanjutkan acara diskusi yang setiap sesi ada key note speaker yang dilakukan oleh beberapa menteri secara terjadwal. Materi-materi penataran yang dianggap penting seperti pengertian tentang Assimilasi, Akulturasi dan Tugas sebagai warga negara dan lain-lain, disajikan  dalam bentuk alat peraga yang tertulis, supaya  mudah diingat dan dipahami.

Seperti dikatakan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud (Kompas, 1 Maret 1980), bahwa para pengusaha semakin memahami kewajiban dan tanggung jawab yang harus dlakukan, baik secara peorangan maupun bersama-sama sesuai dengan fungsi dan profesi masing-masing. Hal itu berarti, bahwa setiap warga negara Indonesia harus semakin intensif mendidik diri sendiri untuk menjadi warga negara Indonesia yang semakin baik. Selanjutnya mengembangkan kualitas demikian itu ke lingkungan di sekitarnya dan semakin meluas.

Dalam dunia usaha, sikap itu berarti makin tegasnya motivasi, sikap hidup dan tingkah laku sehari-hari, yang memancarkan wajah gagasan-gagasan dasar kenegaraan dan kebangsaan itu. Bukan lagi semata-mata hanya pelaksanaan kewajiban membayar pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, tetapi juga secara nyata penempatan setiap motivasi, sikap hidup dan pola usaha sehari-hari, yang kesemuanya bersumber dan bermuara pada terwujudnya gagasan-gagasan dasar kenegaraan tersebut, mewujudkan ekonomi sosial yang menunjang peningkatannya ketahanan nasional yang meliputi segala bidang kehidupan.

Sehubungan dengan itu, rencana mengumpulkan semacam ”dana solidaritas” berhasil disepakati oleh peserta penataran tersebut. Rencana ini merupakan ide yang tumbuh dari para pengusaha secara sukarela setelah merasakan manfaat dari penataran P4 itu. Dana solidaritas yang dimaksud adalah untuk menunjang kebutuhan masyarakat banyak yang dianggap sangat mendesak terutama pada: sarana pendidikan, memperluas penataran P4 ke pelosok tanah air, dan pelayanan kesehatan.

Liem Sioe Liong yang diminta pers untuk menyampaikan kesan-kesannya selama mengikuti penataran itu, antara lain mengemukakan: ”Banyak yang tentu sudah sering dengar nama saya,tapi belum pernah melihat, sebab saya memang tidak pernah memberi wawancara” (hadirin tertawa). Ia menjelaskan, sekarang Pancasila bisa lebih dimengerti dan dihayati secara penuh. Jadi disamping kita harus kerja, kita juga harus mengamalkan Pancasila.”

Kebetulan, ketika itu terjadi gempa bumi  di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa-Barat, Sumatera-Barat, Bengkulu, Bali, dll. Untuk membantu meringankan beban para korban bencana alam itu, para pengusaha peserta penataran mengumpulkan dana dan membentuk beberapa tim untuk melakukan tinjauan ke lapangan dan terutama membangun gedung-gedung sekolah.  Sebagai wujud kepedulian, bersama Menteri Pendidikan Dr Daoed Joesoef, Osbert Lyman dan lainnya melakukan kunjungan ke Jawa-Barat, Sumatera-Barat, dan Bengkulu.

Agar terwujud keterbukaan dan masyarakat mengetahui para penyumbangnya, maka Daud Joesoef menginstruksikan jajarannya untuk mencantumkan nama-nama para penyumbang pada bangunan gedung sekolah yang dibangun tersebut.

Langkah selanjutnya, setelah penataran P4 selesai, para peserta penataran P-4 mengusulkan untuk membentuk sebuah yayasan, maka pada tanggal 19 Mei 1980 didirikan sebuah yayasan, yang oleh Presiden Soeharto diberi nama Yayasan Prasetiya Mulya (YPM) yang berarti janji mulia sebagai wadah kegiatan sosial bagi para pengusaha nasional. Wadah ini selain melakukan kegiatan sosial berupa bantuan terhadap korban bencana alam, juga memikirkan cara untuk memberikan kepastian hukum bagi orang-orang Tionghoa yang belum mempunyai bukti kewarganegaraan RI.

Maka para pengusaha ini secara gotong-royong membantu pemerintah dalam pelaksanaan pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1980  tertanggal 31 Januari 1980 tentang Bukti Kewarganegaraan Indonesia. Inpres ini menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan pemberian SBKRI kepada WNI keturunan asing dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, serta menginstruksikan kepada PANGKOPKAMTIB untuk membantu kelancaran dan pengamanannya.

Tata cara pemberian SBKRI diatur bersama antara Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri dengan pokok-pokok sebagai berikut:

Pemberian SBKRI dilakukan oleh Bupati/Kepala Daerah Tinggkat II atau pejabat yang ditunjuknya atas kuasa Menteri Kehakiman.

Menugaskan kepada team-team gabungan dari pusat ke daerah-daerah yang dipandang perlu untuk membantu mempercepat pelaksanaan pemberian SBKRI tersebut. Pelaksanaan pemberian SBKRI agar dilakukan sebaik-baiknya dan harus selesai selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 1980.

Inpres Nomor 2 tahun 1980  ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M.01-UM.09.03-80 dan No. 42 tahun 1980 tanggal 10 Maret 1980 tentang Pelaksanaan Pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam salah satu keputusannya menyatakan bahwa SBKRI dapat diberikan kepada orang-orang keturunan asing yang sudah menjadi warga negara RI dan telah dewasa, tetapi pada saat ini tidak memiliki bukti kewarganegaraan. Mereka adalah orang-orang yang pada saat mulai berlakunya Inpres Nomor 2 tahun 1980 bertempat tinggal di daerah-daerah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Kabupaten Bangka, Belitung, Kotamadya Pangkal Pinang, Kabupaten Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Karawang.

Kebijakan pemberian SBKRI ini pada hakikatnya merupakan penegasan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1959 pasal 12 ayat (1) huruf j, yang berbunyi: ”petani, yang menurut pendapat Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, dan Menteri Agraria, cara hidupnya dan pergaulannya dengan masyarakat Indonesia aseli menunjukkan  bahwa ia sebetulnya anak pribumi.”

Selaras juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1961 Pasal IV ayat (2) yang menegaskan bahwa ”telah dengan sah turut dalam pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat dan dapat membuktikan hal itu kepada Panitia Pemilihan Indonesia atau telah dengan sah turut dalam pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dapat membuktikan hal itu kepada Kepala Daerah yang bersangkutan.”

Wewenang pemberian SBKRI ini dilimpahkan oleh Bupati atau Walikota, Kepala Daerah Tingkat II kepada Camat, yang menandatangani SBKRI atas kuasa Menteri Kehakiman. Sementara itu, pelaksanaan pemberian SBKRI itu sendiri harus selesai selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 1980.

Untuk kelancaran dan kecepatan pelaksanaan pemberian SBKRI, Inpres tersebut dilaksanakan oleh Menteri Kehakiman bersama Menteri Dalam Negeri, dan dibantu pengamanannya oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Kriteria orang-orang yang memenuhi syarat untuk dapat diberikan SBKRI adalah:

  1. dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia;
  2. sehari-hari hidup sebagai warga masyarakat Indonesia;
  3. dapat berbahasa Indonesia atau bahasa daerah;
  4. tidak pernah menolak kebangsaan Indonesia pada masa opsi atau repudiasi antara tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 27 Desember 1951; artinya orang-orang atau keturunan yang berdasarkan UU No 3 tahun 1946, termasuk dalam pasal 1 huruf b dan pada masa PPPWN mereka menggunakan Stelsel Pasif;
  5. tidak terdapat tanda-tanda bahwa yang bersangkutan adalah orang asing dan tidak pernah memperoleh exit permit only (EPO);

SBKRI dapat juga diberikan kepada mereka yang pernah turut serta dalam pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Seperti ditulis dalam Kompas, 28 Juni 1980, ternyata adanya Petunjuk Pelaksanaan Surat Keputusan Bersama tersebut di atas masih dirasakan belum cukup jelas, sehingga dalam praktek masih timbul berbagai permasalahan. Sehubungan dengan itu, maka pada tanggal 16 April 1980 Menteri Dalam Negeri mengirim kawat (tilgram) kepada pejabat-pejabat yang bersangkutan dengan pelaksanaan pemberian SBKRI berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980 tersebut. Isi surat kawat itu (pokok-pokoknya) adalah sebagai berikut:

SBKRI dapat diberikan kepada orang-orang keturunan asing:

  1. (yang) memenuhi persyaratan pasal 1 SKB dan tidak mempunyai dokumen imigrasi/tanda-tanda asing, sekalipun pada salah satu instansi terdaftar sebagai stateless/tanpa kewarganegaraan.
  2. (yang) memenuhi persyaratan pasal 1 SKB dan tidak mempunyai dokumen imigrasi/tanda-tanda asing, sekalipun yang bersangkutan memegang KTP-WNA ataupun STMD/SPOA.
  3. anak-anak dari para pemegang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan formulir I sampai dengan VI, formulir IA sampai dengan VIA, formulir C dan formulir D dan lain sebagainya yang telah berumur 18 tahun pada tanggal 17 Agustus 1980.
  4. mereka yang memenuhi persyaratan pasal 1 SKB, walaupun pernah terlibat G.30.S/PKI yang termasuk golongan C atau golongan B atau pernah terlibat perkara pidana lainnya; sedangkan mereka yang termasuk golongan A dapat diberikan SBKRI oleh Camat setelah mendapat petunjuk Laksusda setempat.
  5. (yang) memenuhi persyaratan pasal 1 SKB, tetapi memegang exit permit

only yang masih tinggal di Indonesia dan belum berangkat.

 

Mereka yang masuk ke Indonesia dan telah meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia setempat sebelum tanggal 27 Desember 1949, dapat diberikan SBKRI.

Pengertian memiliki tanda-tanda asing pada pasal 1 ayat 1 huruf e dari SKB meliputi:

  1. orang-orang yang sekalipun lahir di Indonesia, tetapi pernah kehilangan kewarganegaraan, karena meninggalkan Indonesia (pulang ke negeri asal) dan kembali secara tidak syah ke IndonesiA; dan orang-orang yang tidak dikenal oleh masyarakat daerah setempat.
  2. WNRI keturunan asing yang tidak bersedia memiliki SBKRI, walaupun memenuhi persyaratan pasal 1 SKB, tidak perlu dipaksakan.
  3. Camat agar mencatat mereka yang tersebut pada (a) yang ingin memiliki status sebagai warganegara asing.
  4. Dalam rangka pemberian SBKRI di semua tingkat, termasuk kelurahan tidak dibenarkan pungutan biaya.
  5. Tidak dibenarkan melayani pemohon SBKRI oleh pemegang kuasa atau calo, yang bertindak untuk dan atas nama seseorang pemohon.

Dari keterangan-keterangan terebut di atas, kiranya soal Inpres Nomor 2 tahun 1980 telah menjadi lebih jelas.

Untuk kelancaran pelaksanaan di lapangan, ada pihak-pihak yang juga bersedia mengulurkan tangan. Antara lain Harry Tjan Silalahi yang mewakili Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) Pusat, dan Osbert Lyman dari Yayasan Prasetiya Mulya.

Dengan segala keterbatasan logistik dan transportasi, kelompok YPM terutama di Kalimantan Barat, Sumatera Bagian Selatan (Bangka-Belitung), dan Riau Kepulauan (Bagan Siapi-api), menyediakan film dan formulir yang diperlukan. Hampir di seluruh daerah Kalimantan Barat saja, menurut laporan BAKOM-PKB dapat diberikan SBKRI sebanyak lebih dari 155.000 kepala keluarga dan perorangan. Artinya apabila 100.000 kepala keluarga dan masing-masing memiliki satu isteri dan dua orang anak, maka terselesaikan +/- 400.000 ditambah 55.000 orang yang belum berkeluarga.

Menurut catatan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) Pusat, jumlah  WNI keturunan yang telah memperoleh SBKRI adalah sekitar 500.000 kepala keluarga dan perorangan.

 

Pemberian SBKRI Susulan khusus di Kalimantan Barat

Pada tahun 1991 atau menjelang pemilihan umum tahun 1992, Yayasan Prasetiya Mulya (YPM) mendesak kembali kepada pemerintah untuk memberikan lagi SBKRI khusus kepada  sebagian masyarakat di Propinsi Kalimantan Barat yang sudah tercatat pada pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1980 namun belum mendapatkannya, juga kepada anak-anak yang ketika tahun 1980 belum dewasa. Dalam kegiatan ini, selain melibatkan tim Departemen Kehakiman dan tim dari Muspida Kalimantan Barat, pemerintah juga melibatkan peran serta masyarakat untuk kelancaran pelaksanaan di lapangan. `

Sebagaimana diketahui, pada waktu tahun 1980, apabila ada satu lembar berkas yang tidak lengkap karena kesalahan atau kekurangan, maka harus diurus di Jakarta, di Sub Direktorat Dwi Kewarganegaraan, Direktorat Tatanegara, Departemen Kehakiman. Mengingat masih terdapat puluhan ribu berkas pemohon dari Kalimantan Barat yang harus diselesaikan, para tokoh senior masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam YPM minta supaya Tim YPM dan BAKOM-PKB Pusat  menyampaikan persoalan ini kepada Menteri Kehakiman dan membantu penyelesaiannya.

Setelah adanya kesepakatan dengan pemerintah, maka Tim YPM dan BAKOM-PKB Pusat membawa dan mendistribusikan formulir-formulir isian serta menyediakan ribuan roll negatif film ke masing-masing pengadilan negeri di Kalimantan Barat untuk mempercepat proses pemberian SBKRI susulan ini.

Walaupun letak geografis Propinsi Kalimantan Barat dengan medan transportasi yang cukup sulit dan mahal ketika itu, namun formulir isian dan negatif film tersebut dapat didistribusikan dan diselesaikan dengan merata dengan dukungan kelompok usaha Satya Djaya Raya serta segenap masyarakat Kalimantan Barat.

Kegiatan tersebut mencerminkan kepedulian dan komitmen berbagai pihak terhadap kondisi warga Tionghoa yang masih belum jelas status kewarganegaraannya.

Selanjutnya, agar masalah SBKRI ini dapat tuntas dan tidak menjadi permasalahan bagi warga Tionghoa di kemudian hari, Yayasan Prasetiya Mulya ini mendesak kepada Pemerintah, agar untuk urusan tertentu tidak mempersyaratkan SBKRI lagi.

Sekitar satu bulan setelah pemilihan umum, Menteri Kehakiman Ismail Saleh akhirnya pada Jum’at Kliwon, tanggal 10 bulan Juli 1992 menerbitkan keputusan Nomor M.02-HL.04.10, yang menegaskan bahwa anak dari orang tua warga negara Indonesia, untuk pembuktian kewarganegaraan tidak perlu minta SBKRI, cukup dengan akta kelahiran.

 

Kebijakan Naturalisasi yang dipermudah 

Pada awal tahun 1992-an dalam kenyataannya masih cukup banyak pemukim keturunan asing yang tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan akibatnya tidak memiliki dokumen kependudukan Indonesia. Hal ini terjadi karena Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980 dibatasi hanya di 5 wilayah dan hanya berlaku enam bulan sampai dengan tanggal 17 Agustus 1980.

Disamping itu, Pemerintah menyadari kelemahan UU No 62 tahun 1958 yang berbeda landasan hukumnya dengan UU No 3 tahun 1946 sehingga terjadi perbedaan penafsiran mengenai warga negara, oleh karena itu, ketika dilakukan penelitian di Sumatera Selatan dan Jambi, ditemukan banyak etnis Tionghoa yang sama sekali tidak memiliki dokumen kewarganegaraan Republik Indonesianya. Sekalipun mengenai bukti kewarganegaraan ada teori yang mengatakan bahwa kewarganegaraan seseorang tidak dapat dan tidak perlu dibuktikan dengan pasti (Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1950).

Daerah Palembang dan Jambi memang tidak menjadi sasaran Inpres Nomor 2 tahun 1980, oleh karena itu ditemukan banyak etnis Tionghoa yang sama sekali tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan tidak memiliki dokumen kependudukan Indonesia.  Hal ini menjadi keprihatian bagi para senior Yayasan Prasetiya Mulya, karena mereka (masyarakat etnis Tionghoa) selalu menemui banyak kesulitan seperti ketika akan melakukan usaha, begitu pula ketika akan menyekolahkan anak-anaknya. Akibatnya, banyak diantara mereka kondisi kehidupannya sangat miskin dan terbelakang karena tidak bersekolah.

Melihat kondisi  ini, konon beberapa tokoh senior Yayasan Prasetiya Mulya  yang dimotori Lie Siong Tay, Liem Sioe Liong, dan William  Soeryadjaya, mengumpulkan kembali para anggotanya bertempat di Wisma Indocement untuk membicarakannya, dan kemudian minta kepada pemerintah agar warga Tionghoa yang kurang beruntung ini dapat diberikan kemudahan memperoleh status kewarganegaraan Republik Indonesianya sebagaimana para pemukim mendapatkan SBKRI melalui kebijakan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980 dulu.

Tindak lanjut pertemuan ini adalah ada semacam pembagian tugas untuk menyampaikan usulan dan meyakinkan kepada Pemerintah, agar dapat menerbitkan kembali kebijakan semacam Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980. Untuk itu Liem Sioe Liong meyakinkan Presiden Soeharto, Anthony Salim, Usman Admadjaja dan Prayogo Pangestu meyakinkan Menteri Sekretaris Negara, serta  Osbert Lyman meyakinkan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman.

Menindaklanjuti pertemuan informal itu, pada tahun 1992 Yayasan Prasetiya Mulya (YPM) mengirim surat nomor YPM/BP/207/XII/92 hari Selasa Legi, tanggal 8 Desember 1992, mendesak kepada Presiden RI untuk menyelesaikan persoalan keturunan asing China tersebut dengan menerbitkan kembali semacam Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980 mengenai pemberian SBKRI. Sekretariat YPM untuk kegiatan sosial ini menempati salah satu ruangan di lantai 16 gedung World Trade Center, kemudian pindah ke salah satu gedung milik Prajogo Pangestu di jalan Juanda III, dan sekretariat ini didukung oleh Tim yang terdiri dari: Indradi Kusuma, Frengky Panjaito, Suparno, Prasetyadji (penulis), Suwardi, dan lain-lain.

Melalui Menteri Sekretaris Negara kemudian pada Sabtu Pon, tanggal 13 Pebruari 1993 diterbitkan surat nomor R-23/M.Sesneg/2/1993 yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman perihal kelonggaran bagi pemukim keturunan asing China untuk menjadi warga negara RI. Yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Menteri Kehakiman pada hari Rabu Wage, tanggal 24 Februari 1993 dengan menerbitkan keputusan Nomor M.07-PR.09.03 membentuk Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim China (TP4C), maupun keputusan Nomor M.03-UM.01.06 tanggal 24 Februari 1993 menunjuk Yayasan Prasetiya Mulya (YPM) dan Bakom-PKB Pusat sebagai Tim Asistensi dalam pelaksanaan proses pewarganegaraan. Namun demikian, pelaksanaan di lapangan banyak menemui kesulitan, karena belum jelas berapa jumlah orang yang dikategorikan pemukim. Untuk itu, didahului dengan sebuah penelitian yang dilakukan Bakom-PKB Pusat mengenai kewarganegaraan di Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, kotamadya Pangkal Pinang dan kotamadya Palembang pada tahun 1992, ditemukan data, bahwa dari 2.344 responden pemukim China yang diteliti, 8,02% datang ke Indonesia sebelum tahun 1945. Dan 41,59% lahir di Indonesia.

BAKOM-PKB mengusulkan agar mereka yang lahir di RRC dan datang ke Indonesia sebelum tahun 1945 maupun yang lahir di Indonesia sebelum tahun 1945 dapat diberikan SBKRI tanpa melalui naturalisasi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 yang berlaku surut sejak 17 Agustus 1945. Dan ditemukan hanya 7% dari responden yang memiliki dokumen keimigrasian Kartu Ijin Menetap Sementara (KIMS), sehingga tidak bisa dipukul rata bahwa mereka adalah pemukim warga negara asing, karena sebagian besar sudah turun temurun di Indonesia.

Sementara itu, pada Jum’at Kliwon, tanggal 12 Maret 1993, Kedutaan Besar RRC di Jakarta mengirim surat kepada Menteri Kehakiman, yang menegaskan bahwa Pemerintah RRC tidak mengenal kewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan), serta apabila seseorang secara bebas memperoleh kewarganegaraan lain (bukan sebagai warga Negara RRC lagi), maka otomatis kehilangan kewarganegaraan RRC-nya.

Mengingat banyaknya hambatan di lapangan karena tidak jelasnya jumlah orang yang dikategorikan pemukim, maka Menteri Dalam Negeri menerbitkan Instruksi Nomor 21 tahun 1993 pada Sabtu Wage, tanggal 15 Mei 1993, menginstruksikan  kepada jajarannya untuk melakukan pendataan penduduk pemukim asing China. Instruksi ini ditujukan kepada gubernur, bupati/walikota seluruh Indonesia, agar melakukan pendataan terhadap orang asing China di wilayah masing-masing, dan hasil pendataan ini tercatat 208.820 orang.

Dalam warta utama, mingguan Sinar, edisi Senin Wage, 27 September 1993 dikatakan bahwa “dalam petunjuk pelaksanaan instruksi itu disebutkan, tujuan pendataan ini untuk memperoleh kepastian jumlah penduduk orang asing China di Indonesia, sehingga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Menteri Dalam Negeri hanya mengeluarkan instruksi mendata pemukim asing China ? Meski tidak kalah pentingnya mendata pula pemukim asing Eropa, Arab, India dan sebagainya ? Ini kiranya akan menjadi langkah penting memutus rantai lama, misalnya dalam kaitannya dengan politik dwi-kewarganegaraan yang dianut Pemerintah Republik Rakyat China (RRC). Yang berarti, orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia masih tetap sebagai warga negara RRC.

Pemerintah Indonesia tampaknya menghendaki agar setiap pendatang terutama orang Tionghoa, segera memiliki status kewarganegaraan, yaitu menjadi warga negara Indonesia atau tetap menjadi warga negara asing sama sekali. Sekali lagi, mengapa yang diprioritaskan kali ini warga Tionghoa? Karena, warga inilah yang selama ini jumlahnya paling besar dibanding pendatang lain.”

Melihat hasil pendataan yang cukup besar, dan dirasakan pelaksanaan pewarganegaraan yang kurang lancar karena berbagai persyaratan yang harus dilengkapi bagi pemohon, maka YPM dan BAKOM-PKB Pusat berharap bahwa penduduk pemukim yang telah turun temurun dan yang sesungguhnya telah menjadi warga Negara RI dapat diselesaikan status kewarganegaraannya dengan diberikan bukti kewarganegaraan Indonesianya. Namun demikian mereka belum diberikan kesempatan mendapatkan surat bukti dimaksud.

 

Atas dasar itu, YPM pada Sabtu Legi, tanggal 31 Juli 1993 mendesak kembali kepada Presiden melalui surat Nomor YPM/BP/178/VII/1993, agar keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-HL.04.02 tahun 1993 dapat diefektifkan, yaitu memberikan bukti kewarganegaraan bagi pemukim asing yang turun temurun di Indonesia. Terhadap permohonan ini secara prinsip Presiden setuju, namun pelaksanaannya masih perlu disempurnakan.

Karena proses pelaksanaan pewarganegaraan masih sangat lamban, sekalipun ada petunjuk dari Menteri Sekretaris Negara, maka upaya-upaya terus dilakukan untuk meyakinkan pemerintah. Selanjutnya, atas pertimbangan tersebut, YPM pada Rabu Legi, tanggal 12 Januari 1994 minta kembali kepada Presiden melalui surat Nomor YPM/BP/010/I/1994, agar kiranya Menteri Kehakiman ditunjuk sebagai koordinator terhadap aparat terkait.

Temen-teman di sekretariat cukup heran, kenapa proses surat menyurat YPM kepada Presiden yang memerlukan tanda tangan pengusaha seperti Prajogo Pangestu, Usman Admadjaja dan lainnya begitu gampang, padahal mereka ini pengusaha super sibuk. Usut punya usut, ternyata di Indocement sudah ada dua orang tua yang menunggui dan memantau, yaitu Oom Liem dan Oom Lie.

Terhadap permohonan ini, pada prinsipnya Presiden menyetujui dan ingin menuntaskan masalah kewarganegaraan ini, lalu tiga hari menjelang perayaan Pesta Emas Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu pada Senin Kliwon, tanggal 14 Agustus 1995, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1995 dan pada hari Jum’at Pon, tanggal 10 Nopember 1995 diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 1995. Selanjutnya Wakil Sekretaris Kabinet menunjuk Bakom-PKB Pusat  (ketika itu Ketua Umumnya Prof Dr Juwono Sudarsono yang kebetulan sebagai Wakil Gubernur Lemhannas), Dr Rosita Noer (salah satu Ketua)  dan Sekretaris Umum Indradi Kusuma untuk membantu pelaksanaan di lapangan dibantu Tim yang terdiri dari Frengky Panjaito, FX Suwardi, Suparno, Oemar Oerip Oesman, Wong Pak, dan Prasetyadji.

 

Sebagai tindak lanjut dibentuknya TP4C dan Tim Asistensi TP4C, Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Kehakiman beserta jajarannya, pada Senin Wage, tanggal 8 Agustus 1994 di Jakarta, memberikan pengarahan kepada para Bupati/Walikotamadya, Kapolres, dan Kepala Pengadilan Negeri dari seluruh Indonesia mengenai teknis penyelesaian permohonan pewarganegaraan pemukim China. Hadir dalam acara tersebut, Menteri Kehakiman, Wakil Sekretaris Kabinet, Dirjen Imigrasi, Dirjen Hukum & Perundangan, Ketua Tim Asistensi TP4C Osbert Lyman, dan Ketua Umum Bakom-PKB Pusat.

Menurut catatan, Tim Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Pemukim China (TP4C) ini beserta komunikator di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, telah membantu menyelesaikan sekitar 180.000 kepala keluarga (apabila satu kepala keluarga membawa 3 anggota keluarga, berarti kurang lebih 720.000) pemukim menjadi warga negara Indonesia.

Disamping peran BAKOM-PKB Propinsi dan BAKOM-PKB Kotamadya/Kabupaten, beberapa komunikator di berbagai daerah yang turut menyukseskan kebijakan naturalisasi yang dipermudah ini antara lain:

 

NO DAERAH NAMA
1 Bandung Dr Tan Tjin Hong, Jan Gunadi  dkk
2 Karawang Sjamsudin Jaya dkk
3 Cirebon Wim Brataatmadja dkk
4 Semarang Kristanto dkk
5 Surakarta Sumartono (PMS), Haswanto (Bakom-PKB)
6 Klaten Tjahjono, Purnomo, Edi Sulistyanto dkk
7 Tegal L Harnoko dkk
8 Yogyakarta Onggo Hartono, Agung Krisna dkk
9 Surabaya Prof Dr DR Lukas W, Alim Markus dkk
10 Jember Drs H Dodiek Sutikno SH MM dkk
11 Kertosono/Kediri Surya Handoko dkk
12 Aceh Drs A Hamidy SH  dkk
13 Sumatera Utara Budiman, Tjoe Min Fat, Tandias, Ardjan dkk
14 Riau Herry Bastian  dkk
15 Jambi Rudy Kimas, Wang Suwandi, Yayasan ANXI
16 Sumatera Selatan Haryono Setiawan, Darwis, Yayasan ANXI
17 Bangka Belitung Yusman Ngui, Rudyanto Thomas dkk
18 Lampung Dr Rudy Sondakh, Kencana Sukma dkk
19 Kalimantan Selatan Karlie Hanafi dkk
20 Kalimantan Timur Drs Gagahrani SH dkk
21 Kalimantan Barat Yayasan Bakti Suci, Buyung Rivai, Henry Dj
22 Sulawesi Utara Louis Nangoy, Wingky Limando dkk
23 Sulawesi Selatan Anton Obey, Frans Hausyah, Wikarsa dkk
24 Sulawesi Tengah Rizal Tjahjadi, Robby Chandra dkk
25 Bali Drs JD Tulus Wuliata, IG Wardhana dkk
26 N T B Ir Bing Gianto, IGB Made Harnaya dkk
27 Ambon/Maluku W Jauwerissa dkk
28 Papua Izak Montolalu dkk

Ditulis oleh : Paschasius Hosti Prasetyadji (adj).

Dimuat dalam Buku “Dari Pulau Tunda Sampai Bumi Khatulistiwa”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *