Posted on

Nenek Beben Saleha dan IKI

Bermula dari informasi melalui pesan whatsapp. Isinya di daerah Serpong, wilayah Kota Tangerang Selatan, tepatnya di Jalan Ampera Hankam RT 002/RW 007 No 105 Kel Buaran, Kec Serpong, Tangerang Selatan 15316,  tinggal seorang nenek tunanetra, Beben Saleha (63 tahun) dengan seorang cucu, Muhamad Pajar yang berusia 5 tahun 11 bulan tanpa memiliki dokumen kependudukan selembarpun.

Prasetyadji, Swandy Sihotang, dari IKI, Sri Mulyani dan Indana dari Dukcapil Tangsel membantu warga Tunanetra memiliki dokumen kependudukan

Nenek dan cucu ini tinggal di kontrakan berupa rumah petak. Nenek ini bisa berteduh dan berlindung dari dinginnya angin malam, berkat bantuan dari iuran warga untuk mengontrak rumah tersebut sebesar Rp.350.000/per bulan yang digagas Lina warga setempat yang didukung teman kantornya.

Untuk menyambung hidup, sehari-harinya nenek Beben mengemis dari lampu merah satu ke lampu merah yang lain – dari daerah Serpong sampai Kebayoran Lama.

Sementara Muhamad Pajar, cucunya, oleh masyarakat sekitar disekolahkan di Yayasan Az-Zaida, Taman Kanak-Kanak Islam Baiturrahim yang terletak di Jalan Ampera Hankam RT 002/RW 007 No 49 Kel Buaran, Kec Serpong, tidak jauh dari rumah kontrakannya. Ia mendapat keringanan biaya dari Sekolah setelah warga menemui kepala sekolahnya, sehingga hanya membayar 50%.

Orang-orang seperti nenek Beben ini seperti orang asing di negeri sendiri gara-gara tidak memiliki dokumen kependudukan. Ketika sakit, tidak ada fasilitas dari Negara yang dapat diperoleh karena tidak memiliki KTP, KK dan jaminan BPJS. Tragiss,, ironiss,, dan mirisss….

Oleh karena itu, ketika mendapat kiriman whatsapp, para peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) yang diwakili Paschasius HOSTI Prasetyadji dan Swandy Sihotang langsung berkoordinasi dengan Disdukcapil Kota Tangerang Selatan, untuk memfasilitas dilakukannya perekaman iris mata, dan pendataan untuk terbitnya KK, KTP, dan akta kelahiran nenek Beben dan Pajar, cucunya. Sehingga, dengan dokumen-dokumen itu, secara de jure mereka adalah warga Negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan warga lainnya. (Prasetyadji).

SAPU JAGAT BERNAMA : SPTJM

Oleh : Paschasius HOSTI Prasetyadji

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai dengan awal tahun 2016, praktis belum pernah ada anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orang tuanya dapat memperoleh akta kelahiran. Hal ini disebabkan karena persyaratannya yang tidak mungkin dapat dipenuhi, yaitu melampirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian, karena format BAP yang ada di kepolisian adalah turunan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Gara-gara tidak memiliki akta kelahiran dan tidak tercatat dalam kartu keluarga (KK), dua anak cerdas dari panti asuhan Pintu Elok Tangerang, Jenifer dan Trisena murid lulusan SMP Seruni Putih dan sekarang sekolah di SMA Mater Dei, Pamulang, hampir tidak dapat memperoleh hak nya sebagai penerima beasiswa pendidikan.

Photo: Paschasius HOSTI Prasetyadji bersama Suster pengasuh dan anak-anak cacat ganda Panti Asuhan Bhakti Luhur, Jakarta Selatan. Dok Prasetyadji

Berbicara tentang hak sipil yang melekat pada diri setiap anak, konstitusi kita mengatur bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dalam pemerintahan; dan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan” (UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 dan 4).

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak menyatakan bahwa “setiap anak berhak mendapatkan status kewarganegaraan dan dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai biaya”.

Sementara itu, Pasal 4 huruf (k) Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menegaskan bahwa “warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya”.

S P T J M

Dengan ‘seribu satu’ landasan hukum dan ‘seribu dua’ alasan kemanusiaan,  Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) sebagai partner pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil), Kementrian Dalam Negeri, tidak jemu-jemunya memberikan masukan dan mendorong Pemerintah untuk berani mengambil langkah diskresi, supaya Negara memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap kelahiran yang dialami penduduk, termasuk perlindungan terhadap anak-anak.

Tanggal 24 Februari 2016 Menteri Dalam Negeri akhirnya menerbitkan Peraturan Nomor 9 tahun 2016 tentang Percepatan peningkatan cakupan kepemilikian akta kelahiran. Pasal 3 ayat 2 huruf b dalam peraturan inilah yang memberikan angin segar kepada anak-anak Indonesia khususnya anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orang tuanya untuk dapat membuat akta kelahiran. Peraturan ini menegaskan bahwa “pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang tuanya dilakukan dengan menggunakan Surat Pernyataan Tanggung Jawa Mutlak atau SPTJM kebenaran data kelahiran yang ditanda-tangani oleh wali atau penanggung jawab”.

Diakui oleh Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang kebetulan intelektual muda, Prof DR Zudan Arif Fakhrulloh SH MH, bahwa “kita harus mempertimbangkan masalah kejiwaan dan kemanusiaan, agar anak-anak ini nantinya (setelah dewasa) tidak minder terhadap statusnya”, katanya.

Zudan juga mengambil langkah revolusioner dalam penyederhanaan persyaratan administrasi, yaitu khusus anak-anak panti asuhan yang tidak diketahui orang tuanya cukup melampirkan surat pernyataan dari kepala panti sebagai penanggung jawab.

KURANG SOSIALISASI

Sayangnya, langkah maju professor muda ini tidak diikuti oleh para pelaksana di lapangan, sehingga banyak pejabat Dukcapil di daerah yang tidak atau belum menerapkan SPTJM sebagaimana Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2016.

Akibatnya, banyak anak yang membutuhkan akta kelahiran namun nasibnya masih terlunta-lunta. Hal ini seperti dialami oleh Agnes dari pulau Lembata di panti asuhan Roslin, Kabupaten Kupang yang diasuh oleh Budi Soehardi – mantan pilot Singapore Airlines, peraih CNN Heroes 2009 yang mendedikasikan diri bersama isterinya Rosalinda Panagia Maria Lakusa mengurus anak panti.

Diakui oleh Menteri Dalam Negeri bahwa sampai dengan hari ini masih banyak masyarakat Indonesia belum memiliki akta kelahiran. Dan apa yang dialami  Agnes adalah gambaran anak-anak yang tidak diketahui asal usul dan keberadaan orang tuanya di seluruh panti asuhan dan rumah singgah di tanah air.

Anak-anak yatim ini berharap seraya memohon, semoga Ditjen Dukcapil segera mensosialisasikan SPTJM sebagai “Sapu Jagat” penyelesaian masalah pemenuhan dokumen kependudukanke para pejabat Dukcapil di daerah untuk menyelamatkan masa depan mereka. Tentu bukan hanya sekedar sosialisasi, tetapi perlu ada sanksi bagi pejabat Dukcapil  yang tidak atau belum menerapkan.