Oleh : Prasetyadji
“Secara umum, Pemerintah Indonesia masih menghadapi beberapa persoalan mendasar terkait kependudukan dan pencatatan sipil, terutama terhadap anak anak yatim piatu, dan khususnya lagi bagi anak anak yang tidak diketahui orang tuanya,” demikian ditegaskan peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Prasetyadji.
“Anak anak yatim piatu ini dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang, terutama pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’. Dengan jaminan UUD 1945 ini, maka anak-anak terlantar yang tinggal dipanti asuhan yang tidak diketahui orang tuanya, Pemerintah wajib memberikan dokumen jatidiri yaitu akta kelahiran sebagai hak dasar,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, UU Nomor 24/2013 sebagai revisi UU Nomor 23/2006, menjadi tonggak pembaharuan pencatatan sipil, dimana stelsel aktif yang sebelumnya ada pada penduduk, maka oleh UU Nomor 24/2013 dirubah menjadi stelsel aktif di pihak Negara/Pemerintah. Artinya, Negara/Pemerintah bertanggung jawab terhadap kepemilikan akta kelahiran bagi setiap warga Negara Indonesia.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 18/PUU-XI/2013 mengingatkan kepada Pemerintah bahwa “seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh Negara”.
Akibat tidak memiliki akta kelahiran, maka antara lain (1) secara hokum keberadaannya tidak diakui Negara; (2) tidak dapat membuat BPJS; (3) tidak dapat sekolah; (4) tidak dapat mengakses fasilitas dari Negara;
Angin Segar
Dulu, sejak Republik Indonesia berdiri sampai pertengahan tahun 2016, praktis anak-anak yatim piatu yang tinggal dipanti asuhan yang orang tuanya tidak diketahui, mengalami kesulitan mengurus akta kelahiran. Kendala utamanya adalah persyaratan melampirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Kepolisian yang merujuk pasal 28 UU Nomor 23/2006. Inilah yang menjadi keprihatinan IKI.
Maka dengan kajian kajian hukum yang dilakukan IKI, disampaikan kepada Pemerintah agar ada diskresi dalam pemberian akta kelahiran bagi anak-anak yang orang tuanya tidak diketahui.
Dengan terbitnya Perturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, dimana pasal 3 ayat 2 huruf b, memberikan angin segar kepada anak anak Indonesia khususnya anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orang tuanya untuk dapat membuat akta kelahiran dengan melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditanda-tangani pengurus panti.
Ada 7 (tujuh) panti asuhan di Tangerang Selatan yang mengurus akta kelahiran anak-anaknya dengan melampirkan SPTJM, yaitu: (1) PA Abhimata; (2) PA Mekar Lestari; (3) PA Pintu Elok; (4) PA Suaka Kasih Bunda; (5) PA Tunas Mahardika; dan (6) PA padang Gembala – Stella Maris; dan (7) Panti Asuhan Cacat Ganda Bhakti Luhur.
Eddy Setiawan, peneliti IKI mengingatkan bahwa, apabila si anak memiliki seorang ibu walaupun tidak nikah resmi, maka si anak wajib dibuatkan akta kelahiran sebagai anak seorang ibu,
Peneliti IKI lainnya, Swandy Sihotang menjelaskan, bahwa persyaratan yang perlu dipersiapkan panti antara lain: (1) akta pendirian yayasan atau AD/ART; (2) ijin domisili yayasan; (3) NPWP yayasan; (4) Surat Tanda Daftar Yayasan dari Dinas Sosial; (5) KK & KTP orang yang ditunjuk sebagai Kepala Keluarga panti; (6) Surat Kuasa kepada kepala KK yang ditunjuk; (7) KTP Ketua yayasan, Sekretaris, dan Bendahara yayasan; (8) Daftar anak;, (9) Biodata anak, kronoligis sejarah setiap anak yang masuk panti; dan (10) photocopy Raport anak (SD, SMP, SMA) kalaua ada.
Sementara itu, Romo Edi Mulyono, SJ mengharapkan, “semoga dengan webinar kerjasama Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dengan IKI ini dapat memberikan pencerahan, dan upaya penyelesaian dokumen kependudukan bagi anak anak panti asuhan yang ada di KAJ khususnya, dan panti panti pada umumnya.”
Prasetyadji dalam penutupnya mengingatkan bahwa, Tuhan Yesus menekankan dua hal penting, yaitu pertama mencintai dengan sepenuh hati, dan Kedua mencintai melampaui batas-batas daerah, suku, bangsa, agama, kelompok dan lain-lain.
Pengikut Kristus harus bisa mencintai orang lain yang berasal dari agama lain, suku lain, daerah lain, bangsa lain. Apabila kita mengasihi masih bersifat diskriminatif, masih atas dasar suka-tidak suka, atau “pilih kasih” berarti kita belum memenuhi syarat menjadi murid Kristus.
Kita juga diingatkan Bunda Teresa dari Kalkuta, bahwa kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk berbuat kebaikan. Tetapi Jangan menjadikan kekurangan sebagai alasan untuk menunda kebaikan.
Pertanyaan untuk saya, untuk Anda, untuk kita semua adalah : Bagaimana setelah meresapi pesan Gereja, Apakah kita sudah siap untuk tidak sekedar menjadi pengagum Bunda Teresa, pengagum Tuhan Yesus Kristus, tetapi bersungguh-sungguh melaksanakan, mengikut jalan salibnya, siap memanggul salib atas dasar kasih bagi sesama ?
Mari kita bantu anak-anak yatim piatu yang tidak mempunyai dokumen kependudukan, agar mereka menjadi manusia yang utuh secara lahir dan batin; secara social dan secara hukum untuk mengarungi kehidupan di tanah air Indonesia.
Webinar yang diselenggarakan tanggal 18 September 2021, kerjasama Institut Kewarganegaraan Indonesia dengan Keuskupan Agung Jakarta ini, diikuti 109 peserta dari berbagai panti asuhan lintas keuskupan, seperti: Jakarta, Medan, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Bogor, Semarang,Malang, Surabaya, Kupang, para bruder, suster, dan para pegiat sosial. ***