Posted on

Mendengarkan Suara Anak Panti Asuhan

Banyak anak-anak yatim piatu yang tak diketahui orangtuanya tak bisa

mendapatkan atau mengurus akta kelahirannya. Nasib mereka menjadi terlunta-lunta.

Negara harus hadir membantu para yatim piatu mendapat hak mereka.

Akibat belum dilaksanakannya kebijakan surat pernyataan tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam Permendagri No 9/2016, anak-anak yatim piatu yang tidak diketahui orangtuanya tak bisa mendapatkan atau mengurus akta kelahirannya.

Surat pernyataan tanggung jawab mutlak adalah surat yang wajib dilampirkan dalam mengurus akta kelahiran, antara lain bagi anak-anak yang tidak diketahui orangtuanya.

Pasal 3 Ayat (2.b) Permendagri ini menegaskan, ”Pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orangtuanya dilakukan dengan menggunakan atau melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) kebenaran data kelahiran yang ditandatangani oleh wali/penanggung jawab”, dalam hal ini pengurus panti.

Kebijakan yang diambil Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Zudan Arif Fakhrulloh ketika itu sebenarnya cukup revolusioner karena tak lagi mensyaratkan berita acara pemeriksaan (BAP) dari polisi yang sejak Republik ini berdiri tak mungkin dapat dikeluarkan.

Karena kurangnya sosialisasi, tak semua

dinas dukcapil di daerah memahami dan

melaksanakan.

 

Hal ini mengingat BAP adalah turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga hanya diterbitkan jika terkait dengan masalah pidana (pro-justitia).

Sayangnya, kebijakan ini belum dilaksanakan secara penuh oleh jajaran direktorat pencatatan sipil di lapangan, seperti terungkap pada Munas Forum Komunikasi Panti Asuhan Se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Ambarawa belum lama ini.

Karena kurangnya sosialisasi, tak semua dinas dukcapil di daerah memahami dan melaksanakan. Akibatnya, anak-anak yatim piatu yang tak diketahui orangtuanya tak bisa mendapatkan atau mengurus akta kelahirannya. Akibat selanjutnya, mereka tak dapat mengurus kartu BPJS, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), dan fasilitas pemerintah lainnya.

Munas yang diikuti 60 utusan dari panti asuhan ini membuka mata dan telinga kita untuk mendengarkan suara hati dari panti-panti asuhan yang anak-anak asuhnya tidak dapat diterbitkan akta kelahirannya.

Terlunta-lunta

Kurangnya sosialisasi dan tak adanya sanksi tegas bagi aparat bandel yang tak melaksanakan permendagri ini mengakibatkan nasib ribuan anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan di seluruh Indonesia menjadi terlunta-lunta.

Tanpa akta kelahiran, anak-anak itu tak punya identitas diri dan status kewarganegaraan (stateless), dan tak bisa mengakses jaminan atau fasilitas yang menjadi hak setiap warga negara. Tanpa akta kelahiran, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-XI/2013 secara de jure anak-anak itu juga tidak dianggap ada oleh negara.

Hal ini menunjukkan bahwa, dilihat dari sisi peraturan perundangan, anak-anak ini dianggap ”bukan manusia” lagi. Dalam hubungan antarbangsa, negara dianggap abai terhadap hak-hak anak sehingga belum dikategorikan sebagai welfare state (negara kesejahteraan).

Pasal 4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI menegaskan, ”Anak yang lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya adalah warga negara Indonesia”. Artinya, setiap anak yang lahir di Indonesia adalah WNI, dan sesuai UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, harus segera dibuatkan akta kelahirannya dengan tak dikenai biaya.

Secara kolektif, sejak terbitnya Permendagri No 9/2016, baru beberapa kabupaten dan kota yang melaksanakan diskresi melalui kebijakan ini. Untuk menjamin kepastian hukum bagi anak-anak yatim, lemah, dan marjinal ini, negara seharusnya konsekuen melaksanakan UUD 1945.

Setiap penduduk berhak memperoleh

dokumen kependudukan dan mendapat

pelayanan yang sama dan setara dalam

pendaftaran penduduk dan pencatatan

sipil seperti akta kelahiran.

 

Negara harus turun merangkul mereka. Setiap penduduk berhak memperoleh dokumen kependudukan dan mendapat pelayanan yang sama dan setara dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil seperti akta kelahiran. Artinya, negara wajib ”menjemput bola” melalui RT, RW, rumah sakit, puskesmas, bidan, sekolah-sekolah, dan tentu panti-panti asuhan.

Direktorat pencatatan sipil harus diisi orang-orang yang memahami dan menguasai masalah pencatatan sipil, bukan ”orang-orang buangan” yang tak mengerti ”roh” kedukcapilan. SPTJM satu-satunya harapan mereka. Ditjen Dukcapil perlu menyosialisasikan Permendagri No 9/2016 seluas-luasnya dan memberikan sanksi tegas kepada pejabat yang bandel.

Prasetyadji Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia

 

Artikel ini sudah dimuat di Harian KOMPAS.

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/30/mendengarkan-suara-anak-panti-asuhan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *